Lihat ke Halaman Asli

Mengalah untuk Menang

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tentu saja kita tidak percaya,  Presiden Jokowi sedemikian lugunya,  sehingga ia tidak tahu bahwa Budi Gunawan (BG) adalah salah satu perwira polisi yang punya rekening gendut. Apalagi KPK telah memberikan penilaian dengan stabilo merah kepada BG, pada saat Jokowi mengajukan puluhan nama calon menteri untuk dimintai penilaian KPK.

Kita mungkin heran mengapa Jokowi tidak meminta pertimbangan KPK sewaktu mencalonkan BG menjadi calon Kapolri. Tapi untuk apa meminta pertimbangan KPK lagi, bukankah KPK sebelumnya sudah memberikan stabilo merah.

Oleh sebab itu, akal sehat kita mengatakan bahwa tidak mungkin Jokowi mengusulkan BG menjadi calon kapolri kecuali ada tekanan dan desakan yang sulit ditolaknya. Dapat diyakini bahwa yang mendesak Jokowi itu adalah Megawati yang mempunyai hubungan dekat dengan BG selaku ajudannya pada saat menjadi presiden tahun 2001-2004. Jokowi tidak bisa menolaknya,  karena sebelumnya ia telah mengangkat HM Prasetyo, kader Partai Nasdem menjadi Jaksa Agung. Mungkin Megawati menggerutu,  kok yang diangkat kader Nasdem lagi, sudah kebanyakan, tidak sebanding dengan jumlah kursinya di Parlemen.

Akhirnya Jokowi mengalah. BG diajukan sebagai calon tunggal Kapolri. Jokowi bahkan tidak buru-buru menarik BG dari pencalonan setelah KPK menetapkanya jadi tersangka,  karena suasana politik di DPR sedang bergairah untuk membela dan mendukung BG. Maka Jokowi memberikan penjelasan singkat bahwa ia mempersilahkan DPR menggunakan hak politiknya,  dan ia juga menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. Nanti setelah itu,  barulah ia mengambil keputusan (yang terbaik).

Dengan cara itu,  Jokowi sebenarnya menggunakan politik “mengalah untuk menang”. Dengan demikian ia telah memenuhi keinginan semua pihak. Kemauan Megawati diikutinya. Kemauan DPR disalurkannya.  Tapi akhirnya, ia masih punya satu senjata pamungkas, yaitu hak prerogatif Presiden dalam mengangkat kapolri. Ia memiliki alasan yang kuat  untuk tidak jadi memilih BG, dan memilih sendiri calon kapolri yang diinginkannya,   yang bersih dan yang dapat diandalkan untuk menegakkan pemerintah yang bersih dan anti korupsi. Bisa juga, ia menunda pengangkatan kapolri sampai Kapolri Jenderal Pol Sutarman pensiun pada Oktober yang akan datang. Setelah itu barulah ia  memilih calon lain,  karena desakan publik sudah sedemikian gencarnya untuk tidak mengangkat BG menjadi Kapolri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline