Seratus hari masa pemerintahannya, mengantarkan Presiden Jokowi dalam jeratan partai-partai pendukungnya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), terutama lagi PDIP. Gerak cepat Jokowi dalam menangani masalah-masalah ekonomi yang cukup mengagumkan banyak pihak, menjadi pudar karena sekarang Jokowi hampir tidak bisa bergerak bebas. Ia berada dalam jeratan yang semakin kuat dari PDIP, sebagai partai utama dalam KIH.
PDIP menginginkan kursi yang lebih banyak lagi di eksekutif. Jokowi sudah memberikan 7 posisi penting kepada PDIP, yaitu dua menko, empat menteri dan satu jabatan setingkat menteri. Tapi para kader PDIP kurang puas, karena yang diangkat itu sebagian adalah orang yang tidak punya kartu anggota PDIP. Mereka hanya orang yang dianggap dekat dengan Megawati, seperti Rini Soemarno, Andi Wijayanto dan Ryamizar Riyakudu.
Jadi kira-kira mereka berdalih, sebagai pemenang pileg, PDIP baru kebagian jatah 4 jabatan eksekutif, sama banyak dengan jatah menteri yang diperoleh Partai Nasdem dan Partai PKB. Nasdem yang diketuai oleh Surya Paloh, yang hanya mempunyai 36 kursi di DPR. Nasdem mendapatkan jatah 4 jabatan eksekutif, yaitu seorang menko, dua menteri dan terakhir Jaksa Agung. Demikian pula halnya dengan PKB, meski mendapatkan 3 kursi menteri, tapi PKB mendapatkan bonus seorang menteri berlatar belakang NU dan PKB walaupun tidak berkartu anggota karena berstatus pegawai negeri, yaitu Menteri Riset & Pendidikan Tinggi. Hanura sebagai partai terkecil dengan 15 kursi di DPR juga mendapatkan jatah menteri yang signifikan, yaitu 2 menteri.
Barangkali hal itulah salah satu penyebab PDIP ngotot mengusulkan Budi Gunawan (BG), mantan ajudan Megawati sewaktu menjadi presiden untuk diangkat menjadi Kapolri. Pada hal sejak 2010, BG adalah salah satu jenderal yang telah dipublikasikan media masa sebagai jenderal polisi pemilik rekening gendut. Bahkan KPK telah memberikan stabilo merah pada nama BG sebagai calon menteri atau pejabat negata yang diplot oleh Jokowi.
Tapi Jokowi justru mengalah kepada kemauan PDIP. Presiden Jokowi akhirnya mengusulkan BG sebagai calon tunggal Kapolri kepada DPR. Bahkan setelah KPK menetapkan BG sebagai tersangka korupsi, Presiden Jokowi tidak bertindak mengganti calon kapolri. DPR yang terbelah dalam KMP dan KIH kali ini bersatu dalam menyetujui usulan Presiden Jokowi, tentunya dengan alasan yang berbeda. KIH menghendaki presiden menuruti kemauan mereka. Sedangkan KMP melihat ada peluang pada kasus ini untuk melengserkan presiden.
Barulah setelah itu Jokowi seperti tersadarkan bahwa tindakannya keliru. Maka ia menunda pelantikan BG sebagai Kapolri sampai status hukumnya agak jelas. Tapi suasana politik semakin meruncing karena Polri melakukan pembalasan, menangkap BW dan menetapkannya sebagai tersangka pula. Maka terjadilah pertarungan Cicak-buaya jilid ketiga.
Kita tidak tahu keputusan terakhir yang akan diambil oleh Presiden Jokowi. Ia masih menunggu keputusan sidang praperadilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia masih ragu dan bingung. Pada hal, Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat calon kapolri lain yang lebih bersih dan punya rekam jejak yang baik, tanpa harus menunggu keputusan praperadilan BG.
Demikianlah, sampai saat ini Jokowi masih tersandera oleh parpol pengusungnya. Untuk itu ia tega mengingkari janjinya kepada rakyat pendukungnya. Jokowi lupa bahwa ia memenangkan Pilpres bukan karena PDIP atau KIH, tetapi karena dipilih oleh rakyat masa mengambang yang rindu pemerintahan yang bersih. Sebagian dari mereka adalah rakyat yang sebelumnya memilih menjadi golput, karena tidak percaya dengan partai politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H