Lihat ke Halaman Asli

Mj Jafar Shodiq

Koordinator Nasional Kaukus Muda PPP

Catatan Kecil Perbandingan Indonesia dan Negara-Negara Muslim Lainnya

Diperbarui: 13 April 2021   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Mj. Ja'far Shodiq (Kornas Kaukus Muda PPP)

Sejak tahun 2000 atau masuk era milenium baru, perkembangkan dinamika dunia Muslim mengalami krisis yang menyedihkan. Selama 2 dasawarsa terkahir ini menjadi satu periode paling gelap dalam sejarah terutama bagi sebagian besar dunia Muslim dan belum  ada tanda-tanda baik bahwa krisis dapat diselesaikan segera.  Kekerasan dan terorisme yang merajalela di negara-negara mayoritas Muslim di Dunia Arab, Asia Selatan dan Afrika seperti yang dilakukan ISIS, al-Qaidah, Taliban, Boko Haram, al-Shabab mempercepat sentimen anti-Islam dan anti-Muslim di negara mayoritan non muslim lainnya. Di sisi lain, perang saudara dan penghancuran diri di Yaman, Libya, Irak, Suriah, dan Afghanistan membuat migrasi massal dari Dunia Arab dan Asia Selatan ke Eropa, Asia Tenggara, Amerika Utara, dan Australia, hal ini menciptakan kesengsaraan manusia.

Menurut Prof Azyumardi Azra Guru Besar Sejarah Islam UIN Jakarta, terdapat 7 alasan mengapa krisis ini terjadi, diantaranya pertama, disebabkan situasi politik yang tidak stabil sejak Perang Dunia II yang menimbulkan kekuasaan otoriterisme militer terhadap sipil. Kedua,  kegagalan ideologi negara yang religious tapi tidak bersahabat. Ketiga, Politik 'zero-sum-game' yang berkelanjutan. Keempat, terorisme yang disponsori negara versus terorisme non-negara, menciptakan lingkaran kekerasan dan terorisme yang tidak terputus dan melanjutkan konflik dan kontestasi antar negara, menciptakan 'perang proksi' di bagian-bagian tertentu. Kelima, kerentanan internal dari campur tangan pihak luar sejak masa penciptaan Israel. Keenam, sektarianisme agama, sosial dan budaya yang selalu tertanam dan memanas hanya memberi sedikit ruang untuk kompromi dan toleransi. Ketujuh, kegagalan memodernisasi yang membaratkan rezim otoriter dalam pembangunan sosial-ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedelapan, sumber daya alam seperti minyak, gas telah digunakan untuk megaproyek tujuan lain daripada untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Jika kita melihat Indonesia sebagai negara mayoritas  muslim terbesar di dunia, boleh jadi sangat stabil dan hampir tidak ada krisis seperti yang terjadi di negara-negara yang disebutkan di atas. Terdapat beberapa alasan mengapa dinamika di Indoneisa cenderung stabil, diantaranya walaupun Indonesia sebagai negara mayoritas muslim, Negara Indonesia didasarkan pada konsep negara bangsa modern dan mengadopsi demokrasi daripada teokrasi Islam. Ada 3 jenis demokrasi yang pernah diterapkan di Indonesia yaitu, demokrasi liberal (1955 dan era pasca-Soeharto), demokrasi terpimpin (1959-65), demokrasi Pancasila (1966-98). Muslim di Indonesia menerima demokrasi karena dianggap cocok dengan Islam dan mereka menikmati stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Di samping itu, dasar ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila merupakan kesepakan bersama para pemimpin muslim pendiri negara dengan non muslim lainya sebagai “kalimatun sawa” atau "Konsensus Bersama" dan hal ini bisa  diterima karena dianggap “cukup islami” seperti halnya saat Nabi Muhammad membuat Piagam Madinah.  Pancasila diterima sebagai 'jalan tengah' antara gagasan negara sekuler dan negara Islam.

Dalam catatan sejarah, masuknya Islam di Indonesia diperkenalkan sebagian besar oleh para guru Sufi yang mengembara sejak abad ke-12. Penyebaran Islam yang dilakukan mereka adalah dengan cara penetrasi pasif dan akomodasi budaya local tanpa adanya kekerasan bahkan peperangan, sehingga Islam sangat tertanam di Indonesia. Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, yaitu sebanyak 88,2 persen dari total 255 juta penduduknya adalah Muslim, Indonesia juga merupakan negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Hal yang menarik tentang Islam di Indoesia adalah coraknya yaitu penerapan corak 'Islam Wasatiyyah' — Islam jalur tengah dengan tradisi inklusif, toleransi, dan ko-eksistensi damai dengan penganut agama lain.

Di sisi lain, Islam Indonesia memberikan kebebasan yang jauh lebih besar bagi perempuan Muslim dalam kehidupan keagamaan, sosial, budaya dan politik. Hal ini justru berbanding terbalik dengan negara-negara muslim mayoritas lainnya yang cenderung menomorduakan peran perempuan. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Indonesia menjadi agen atau duta perkembangan ‘Islam Wasatiyah’ agar dapat diterapkan di negara-neraga muslim mayoritas lainnya, terutama yang sampai hari masih mengalami krisis agama, politik, ekonomi dan budaya. Indonesia memiliki pengaruh kuat pada negara-negara Arab pada Islam wasatiyyah, kompatibilitas Islam dan demokrasi. Hal ini bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia (MOFA dan Kementerian Agama) dan CS, LSM dan lembaga think tank lainya yang harus lebih aktif dalam 'mengekspor' demokrasi dan Islam ‘Wasatiyah’ ke negara-negara Arab melalui 'berbagi' pengalaman terbaik dalam demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline