Lihat ke Halaman Asli

Mj Jafar Shodiq

Koordinator Nasional Kaukus Muda PPP

Mengapa Sektarianisme Selalu Menjadi Primadona dalam Krisis Teluk Arab-Persi?

Diperbarui: 6 April 2021   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

mukaalma.com

Oleh: Mj. Ja'far Shodiq (Mahasiswa Program Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Perkembangkan dinamika dunia Muslim mengalami krisis yang menyedihkan terutama di dunia Arab dan sekitarnya. Selama hampir dua dasawarsa terakhir ini menjadi satu periode paling gelap dalam sejarah terutama bagi sebagian besar dunia Muslim dan belum  ada tanda-tanda baik bahwa krisis dapat diselesaikan segera.  Kekerasan dan terorisme yang merajalela di negara-negara mayoritas Muslim di Dunia Arab, Asia Selatan dan Afrika seperti yang dilakukan ISIS, al-Qaidah, Taliban, Boko Haram, al-Shabab mempercepat sentimen anti-Islam dan anti-Muslim di negara mayoritan non muslim lainnya. Di sisi lain, perang saudara dan penghancuran diri di Yaman, Libya, Irak, Suriah, dan Afghanistan membuat migrasi massal dari Dunia Arab dan Asia Selatan ke Eropa, Asia Tenggara, Amerika Utara, dan Australia, hal ini menciptakan kesengsaraan manusia.

Secara garis besar, kelahiran kelompok fundamentalisme dalam Islam lebih disebabkan oleh dua faktor besar, pertama faktor internal yaitu adanya legitimasi teks keagamaan. Dalam melakukan "perlawanan", kelompok radikal sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks "kultural") sebagai penopangnya. Mereka menggunakan teks-teks keislaman (Alquran, Hadits dan classical sources- kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis sebuah gerakan ekstrimisme Islam. Teks tersebut secara tekstual memang ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme dan ekstrimisme ini.  Faktor internal lainnya adalah, karena gerakan ini mengalami frustasi yang mendalam sehubungan belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya "Negara Islam Internasional"

Adapun beberapa alasan lainya mengapa krisis ini sampai sekarang terjadi menurut Prof Azyumardi Azra dalam materi kuliah umumnya yang pernah dipresentasikan dalam sebuah seminar di Coventry University UK pada tahun 2018 menjelaskan bahwa pertama, disebabkan situasi politik yang tidak stabil sejak Perang Dunia II yang menimbulkan kekuasaan otoriterisme militer terhadap sipil. Kedua,  kegagalan ideologi negara yang religius tapi tidak bersahabat. Ketiga, Politik 'zero-sum-game' yang berkelanjutan. Keempat, terorisme yang disponsori negara versus terorisme non-negara, menciptakan lingkaran kekerasan dan terorisme yang tidak terputus dan melanjutkan konflik dan kontestasi antar negara, menciptakan 'perang proksi' di bagian-bagian tertentu. Kelima, kerentanan internal dari campur tangan pihak luar sejak masa penciptaan Israel. Keenam, sektarianisme agama, sosial dan budaya yang selalu tertanam dan memanas hanya memberi sedikit ruang untuk kompromi dan toleransi. Ketujuh, kegagalan memodernisasi yang membaratkan rezim otoriter dalam pembangunan sosial-ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedelapan, sumber daya alam seperti minyak, gas telah digunakan untuk megaproyek tujuan lain daripada untuk meningkatkan kesejahteraan umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline