Lihat ke Halaman Asli

Toleransi, Harta Tersembunyi Indonesia

Diperbarui: 19 November 2024   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto bersama kelompok ekskursi Pondok Pesantren Al-Ittifaq (Sumber: dok. pribadi)

Ada orang Batak, ada orang Jawa, ada orang Ambon, ada juga orang Padang,  ada orang Manado, ada orang Madura, ada orang Papua, nggak disebut jangan marah. Apakah yang dapat menyatukan kita? Salah satunya dengan musik. 

Rasanya tidak asing mendengar lirik lagu tersebut. Lirik lagu di atas, diambil dari Dangdut is the Music of My Country oleh Project Pop. Lirik lagu ini sangat berkesan bagi saya karena menyinggung isu toleransi. Berbicara mengenai toleransi, saya jadi mengingat kegiatan SMA Kolese Kanisius yang baru saja saya lalui. Kegiatan itu adalah ekskursi lintas agama. Selama tiga hari saya hidup sebagai santri pondok pesantren dengan menggunakan sarung dan peci. Pengalaman ini menjadi sesuatu yang baru bagi saya. 

Salah satunya dengan musik. Lirik dari lagu yang sudah saya sampaikan di awal adalah lirik yang menarik perhatian saya. Setiap kali saya mengikuti konser musik yang ada, tidak peduli apapun ras dan agamanya, para penonton pasti akan menari dan bernyanyi mengikuti irama lagu. Itu yang membuat saya pertama kali sadar indahnya menghormati perbedaan. Sama seperti konser musik, para penonton yang tidak pernah mengenal satu sama lain pasti ikut bernyanyi dan menari bersama-sama. Saya rasa, lirik tersebut sebenarnya sungguh nyata. Buktinya ada di salah satu kegiatan selama saya ekskursi di Pondok Pesantren Al-Ittifaq, yaitu bernyanyi bersama. 

Kegiatan nyanyi bersama dengan para santri (Sumber: dok. pribadi)

Gambar di atas adalah penampilan dari kelompok ekskursi yang saya ikuti. Saya dan teman-teman bernyanyi bersama dengan para santri yang menonton juga. Bahkan santriwati (siswa pondok pesantren perempuan) ingin bernyanyi bersama lagi dengan lagu Bernadya. Saya merasa adanya kebersamaan di tengah kegiatan tersebut. Lagu dapat menyatukan semua orang tanpa peduli golongan dan kelompoknya. Kebersamaan yang saya rasakan sungguh tidak ternilai. Tanpa memedulikan apa agamanya, kami dapat menikmati waktu bersama. Itulah indahnya toleransi di tengah masyarakat beragama. 

Tidak hanya dari bernyanyi bersama, saya merasakan adanya kebersamaan toleransi ditengah keberagaman. Saya juga merasakan kebersamaan ketika saya dan teman-teman santri bersiap untuk pergi ke Curug Padjadjaran. 

Persiapan sebelum pergi ke Curug Padjadjaran (Sumber: dok. pribadi )

Gambar di atas adalah gambar yang diambil sebelum berangkat ke Curug Padjadjaran. Kami dan para santri dipisahkan dan membentuk kelompok kecil dengan para santri. Satu kelompok kecil terdiri dari tiga orang dengan satu orangnya adalah santri Pondok Pesantren Al-Ittifaq dan dua orang yang lain adalah siswa SMA Kolese Kanisius. Saya membentuk kelompok dengan salah satu santri dan dia menuntun saya dan teman saya ke Curug Padjadjaran. 

Di tengah perjalanan, saya, teman saya, dan santri yang mendampingi saya saling berbicara. Kami bertukar pikiran dan membahas mengenai kehidupan masing-masing, seperti apa yang dilakukan di pesantren, apakah di Kanisius itu memiliki asrama, apakah di Kanisius itu muridnya laki-laki semua dan pertanyaan-pertanyaan lain selagi kami berjalan. Dari komunikasi ini, saya sadar bahwa para santri sebenarnya sangat penasaran dan juga ramah. Mereka tidak pernah sekalipun malu karena bertemu dengan orang asing, tetapi mereka sangat antusias dan mau mengenal lebih banyak lagi, sama seperti saya. Saya juga antusias ketika pergi untuk berdinamika selama ekskursi. Saya ingin mengetahui seperti apa kehidupan di pesantren. 

Tidak hanya para santri yang ramah, para santri juga sangat sabar. Mereka tetap sabar menunggu saya yang seringkali merasa kelelahan saat perjalanan ke Curug Padjadjaran. Jarak dari pondok pesantren ke Curug Padjadjaran kurang lebih 5 km dengan kondisi menanjak. Tentu saja bagi saya yang jarang sekali melalui medan seperti itu cepat kelelahan, tetapi para santri tetap dengan sabar menunggu saya dan bahkan menghibur saya. “Lima menit lagi sampai”, itu kata mereka, padahal masih 30 menit lagi. Saya justru merasakan keseruan di tengah keberagaman ini. Indahnya kebersamaan ini terus saya rasakan selama berdinamika di Pondok Pesantren Al-Ittifaq. Sesampainya di Curug Padjadjaran, saya, teman-teman, dan santri langsung 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline