Lihat ke Halaman Asli

Filsafat Ilmu Pengetahuannya Budisme oleh Gerald Du Pre

Diperbarui: 7 Maret 2016   19:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Psikologi, atau Ilmu Jiwa, itu tidak hanya merupakan studi khusus mengenai bidang pengetahuan tertentu saja, tetapi juga membicarakan beberapa hal tentang sifat pengetahuan itu sendiri. Sama seperti itu, Filsafat Mahayana itu tidak hanya merupakan studi khusus mengenai filsafatnya Buddhisme saja, tetapi juga membicarakan filsafat pengetahuan secara umum.

Saya akan membahas Filsafat Pengetahuan (= Philosophy of Knowledge)-nya Buddhisme disini, khususnya mengenai Madhyamika atau Ajaran Jalan Tengah (= Middle Doctrine), dan akan menyampaikan argumentasi saya bahwa itu didalam realitasnya merupakan Filsafat Ilmu Pengetahuan (= Philosophy of Science) yang bersifat revolusioner.

Telah diketahui dengan baik bahwa Buddhisme itu mengenal kasunyataan empiris, – yaitu yang dinamai samvrti-satya, atau kasunyataan relative dari Aliran Madhyamika. Seperti para sarjana, umat Buddha juga menghargai penggunaan secara ketat logika dan definisi yang tepat dari istilah-istilah. Didalam Buddhisme, sama seperti pada Ilmu Pengetahuan, theori itu didasarkan pada observasi dan praktik. Umat Buddha, seperti para sarjana, juga menentang dogma, dan tidak memiliki naskah-naskah suci yang dihormati seperti terhadap authoritas-authoritas yang paling tinggi. Mereka mempercayai kebebasan bertanya dan toleransi, serta secara terus menerus mengingatkan, seperti sikap Newton, untuk menentang metafisika.

Tetapi, saya dapat mendengar bantahan-bantahan, baik dari umat Buddha, maupun dari para sarjana. Lebih penting dari semuanya, adalah bahwa filsafat Madhyamika itu meng-claim bahwa kasunyataan yang relative itu didasarkan pada sunyata, suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan paramartha-satya atau kasunyataan yang paling tinggi (= ultimate truth), yang dikatakan sebagai diluar definisi. 

Jadi, tampaknya, Buddhisme itu berpegang teguh pada pandangan yang religious, yaitu berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu membicarakan pengetahuan tentang dunia material, tetapi Buddhisme juga berpendapat bahwa dunia ini didasarkan pada sesuatu yang bersifat immaterial, tidak bersifat material -, yang keadaannya lebih riil dari keadaan riilnya dunia yang nampak ini.

Memang banyak umat Buddha yang mengatakan bahwa sunyata itu mewakili kasunyataan spiritual (= spiritual truth), yang keadaannya sangat berbeda dari kasunyataan material-nya ilmu pengetahuan. Terhadap pandangan yang demikian ini, banyak para sarjana yang menjawab bahwa filsafat Madhyamika, dengan meng-claim adanya eksistensi kasunyataan yang paling tinggi, tetapi menolak menerangkan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kasunyataan yang paling tinggi itu, berarti mengaburkan keseluruhan pengertian tentang pengetahuan, dan berpendapat bahwa filsafat mereka itu paling tidak bernilai, dan bahkan bersifat destruktif.

Itu di mata para sarjana jelas nampak keadaannya seperti Agama Kristen yang berpakaian baju Dunia Timur. Di Dunia Barat, para ahli theologi Kristen yang hidup di Abad Pertengahan percaya bahwa dunia spiritual, dunia surga, itu tidak dapat dilihat, namun keadaannya lebih riil dari pada dunia yang dapat kita lihat ini. Mereka mengecilkan arti pengalaman keindriaan, dengan mengatakan bahwa pengalaman keindriaan itu merupakan sumber illusi, atau kepalsuan, dan kesalahan. 

Kemudian, para filsuf metaphysis berpegang teguh pada hakekat pandangan yang sama seperti tersebut dimuka tadi. Para ahli filsafat pengetahuan dari Dunia Barat setuju terhadap pandangan bahwa salah satu innovasi, atau pembaharuan, dari ilmu pengetahuan, yang besar, adalah ide yang mengatakan bahwa pengalaman keindriaan, – suatu pengalaman yang diperoleh ketika organ-organ indria berkontak dengan objek -, itu menjadi basis pengetahuan. Spekulasi atau dogma tentang dunia-dunia, atau alam-alam, diluar pengalaman keindiriaan, itu bersifat metaphysis, yang dapat benar, tetapi juga dapat tidak benar.

Buddhisme itu, saya yakini, tidak memajukan, atau mendukung pandangan tentang kasunyataan, dari Agama Kristen, yang demikian itu. Di Tanah Air Pangeran Siddhartha, yaitu India, disitu doktrin-doktrin religi-nya adalah apa yang sekarang dinamai Hinduisme. Hinduisme mempunyai filsafat pengetahuan yang sangat mirip dengan pandangan tersebut diatas, yang lalu dirumuskan oleh Agama Kristen. Sama seperti pandangan Agama Kristen, Hinduisme percaya bahwa pengalaman keindriaan itu bersifat illusi, bersifat palsu, dan dipercayai pula bahwa yang riil, adalah Ke-Aku-an yang tidak tampak (= invisible Self), yang berada dibelakang dunia yang tampak ini.

Semua Umat Buddha mengetahui betapa gigihnya Pangeran Siddhartha menolak pandangan pengetahuan dari Hinduisme, dengan mengemukakan doktrin dasar dari Buddhisme, yang dinamai Anatta. Sang Buddha menolak dunia metaphysis atau dunia religious-nya Hinduisme, yang diterangkan sebagai diluar pengalaman keindriaan; dan yang berpendapat bahwa dunia tersebut lebih rill dari pengalaman keindriaan. Sang Buddha telah mengemukakan doktrinnya tentang Sunyata, atau Kekosongan (= Emptiness), 

sebagai jawaban yang radikal terhadap pandangan Hinduisme, dan beberapa jawaban yang radikal terhadap pandangan Hinduisme, dan beberapa abad kemudian para filsuf Madhyamika telah mempertahankan pandangan tersebut sebagai yang sama dengan istilah Tathata. 1. Jadi, Pangeran Siddhartha, dan kemudian para filsuf Madhyamika telah mengemukakan secara berulang-ulang bahwa sunyata itu tidak merupakan dunia yang bersifat metaphysis, tidak mysterious, atau kabur, dan bukan merupakan sesuatu pengertian atau konsep yang sama sekali abstrak. Jadi, itu tidak bersifat spiritual, didalam arti kata yang metaphysis atau abstrak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline