Lihat ke Halaman Asli

Memahami Post-Power Syndrome pada Orang yang Dicintai

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pernahkah anda menyaksikan bahkan mengalami sendiri ketika orang tua yang telah berumur ataupun seorang pensiunan, selalu membanggakan dirinya dengan menceritakan masa lalunya? Mereka cenderung menggurui setiap ucapannya dengan kebanggaan atasnya. Mereka menganggap bahwa hal itu wajar dan penting untuk disampaikan Namun saat disadarkan, mereka menolak untuk berhenti dan beranggapan bahwa anda belum memiliki pengetahuan yang cukup sehingga masih harus belajar dari pengalaman mereka. Hal ini tidak hanya diterapkan pada anda, namun terhadap orang-orang di sekitar mereka.

Gejala-gejala seperti merupakan indikasi gangguan Post-Power Syndrome. Hal ini tak wajar jika terjadi terus menerus sepanjang masa tua para penderita.

Post-power syndrome, adalah gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada pada saat ini.

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya post-power syndrome. Pensiun dini dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila orang yang mendapatkan pensiun dini tidak bisa menerima keadaan bahwa tenaganya sudah tidak dipakai lagi, walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi kontribusi yang signifikan kepada perusahaan, post-power syndrom akan dengan mudah menyerang. Terlebih bila ternyata usianya sudah termasuk usia kurang produktif dan ditolak ketika melamar di perusahaan lain, post-power syndrom yang menyerangnya akan semakin parah.

Kejadian traumatik juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya post-power syndrome. Misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang pelari, yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu menerima keadaan yang dialaminya,maka dia akan mengalami post-power syndrome. Apabila terus berlarut-larut, kemungkinan besar gangguan jiwa yang lebih berat akan dideritanya.

Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang yang berhasil melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang terus mendesak, dan dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, resiko terjadinya post-power syndrome yang berat semakin besar.

Beberapa kasus post-power syndrome yang berat seringkali diikuti oleh gangguan jiwa seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka waktu tertentu, depresi yang berat, atau pada pribadi-pribadi introfert (tertutup) terjadi psikosomatik (sakit yang disebabkan beban emosi yang tidak tersalurkan) yang parah.

Penanganan gangguan kejiwaan ini, bilamana seorang penderita post-power syndrome dapat menemukan aktualisasi diri yang baru, hal itu akan sangat menolong baginya. Misalnya seorang manajer yang terkena PHK, tetapi bisa beraktualisasi diri di bisnis baru yang dirintisnya (agrobisnis misalnya), ia akan terhindar dari resiko terserang post-power syndrome.

Seseorang yang bisa menerima kenyataan dan keberadaannya dengan baik akan lebih mampu melewati fase ini dibanding dengan seseorang yang memiliki konflik emosi. Di samping itu, dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya fase post-power syndrome ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline