[caption id="attachment_106527" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] “Lah, kalau Indonesia maju, siapa yang beli barang Jepang, Eropa, dan Amerika?!” dalam sebuah percakapan dengan seorang teman.
Demikianlah tercetus dalam diskusi dengan seorang teman. Saya lalu berpikir, seperti apakah wajah dunia ini, bila Indonesia berhasil maju dengan produk-produk anak negeri. Namun, saya ada pesimis juga, melihat sejarah penjajahan dunia, yang rakus dan ganas. Siapa yang beli produk negara maju, bila Indonesia sendiri berhasil maju? Pemikiran itu, membawa saya menerawang, ke pelajaran-pelajaran sejarah yang pernah saya dapat.
Imperialisme Kuno
Ong Hok Ham, dalam kenangan sahabat-sahabatnya, di buku Onze Ong, menuturkan setengah bercanda, bahwa ibu-ibu turut berperan dalam menciptakan penjajahan dunia. Kenapa bisa demikian?! Karena penjajahan awal, imperialisme, berasal dari kebutuhan dapur, rempah-rempah. Harga barang tersebut di Eropa sangatlah tinggi, karena itu bangsa-bangsa Eropa yang sedari dulu terlibat persaingan, berlomba-lomba menuju pusat penghasil rempah-rempah di dunia Timur.
Saat itulah dimulai imperialisme kuno (Abad 16), sebuah istilah yang nanti akan dibedakan dengan imperialisme modern, atau bahkan neo-imperialisme. Bangsa-bangsa Eropa, lewat perusahaan-perusahaan dagangnya berperang (misalnya EIC dan VOC) dan membagi-bagi wilayah dunia, untuk memonopoli penjualan rempah-rempah saat itu.
Pada masa-masa ini belum dilakukan secara luas pendudukan wilayah secara politis, atau membentuk koloni (kolonialisme). Para pedagang Eropa baru berfokus pada membeli rempah-rempah dengan harga murah dan memonopolinya. Sehingga beberapa sejarawan beranggapan bahwa pada masa VOC berada di Nusantara belumlah dapat dikatakan Belanda menjajah Indonesia, karena hubungannya adalah berdagang. Meskipun demikian, tekanan-tekanan untuk mempengaruhi kebijakan para penguasa feodal (Raja) sudah dilakukan.
Bahkan Pemerintah Inggris menolak membentuk koloni di daerah Sungai Congo, Afrika, yang jelas-jelas sudah ditemukan potensinya oleh penjelajah dan ilmuwan Henry Morton Stanley di tahun 1874. Alasan pemerintah Inggris saat itu adalah tidak ingin menambah beban pemerintahan Inggris dalam segi biaya. Ternyata pada masa itu, memiliki tanah jajahan bukanlah sesuatu yang terutama.
Imperialisme Modern
Perbedaan kebijakan imperialisme menjadi berubah drastis, ketika Inggris kemudian negara Eropa lainnya berhasil masuk ke tahap industri pada abad 18-19. Pergantian tenaga manusia ke tenaga mesin benar-benar meningkatkan jumlah produksi, sehingga tercipta kondisi “overweight production” atau “barang-barang surplus” pada negara-negara Eropa.
Pada tahap inilah diperlukan daerah-daerah untuk menjual kelebihan produksi tersebut, dan jaminan ketersediaan bahan-bahan baku produksi di daerah-daerah luar Eropa, inilah yang disebut imperialisme modern.
Bangsa-bangsa Barat berebut mendirikan koloni di daerah baru di Afrika dan Asia. Pasar baru sangat diperlukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di tanah Eropa. Maka dengan kekuatan militer, pendekatan ekonomi, hingga budaya, bangsa-bangsa Eropa berusaha memiliki daerah-daerah koloni atau jajahan. Sebagai sebagian contoh, Indonesia menjadi milik Belanda, Malaysia, Singapura, dan India milik Inggris, Cina dikuasai Jerman, Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang. Daerah-daerah di Afrika seluruhnya dibagi-bagi antar negara Eropa. Semuanya demi tujuan meluaskan pasar, mendekatkan bahan baku industri, dan ketersediaan tenaga kerja murah.
Neo-Imperialisme
Memasuki tengah abad 20, negara-negara Eropa tak dapat memungkiri dasyatnya ide nasionalisme, demokrasi, liberalisme, dan sosialisme. Hak manusia untuk memperoleh kebebasan, dan bebas dari penjajahan terus dipertanyakan. Maka, negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, harus merelakan daerah-daerah koloninya untuk merdeka.
Lalu apakah masalahnya selesai? Ternyata tidak, tetap ada permasalahan awal bagi negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang yang kemudian disebut negara dunia pertama, atau negara maju. Adanya “barang-barang surplus” atas hasil produksi mereka, kebutuhan pasar yang luas, dan tenaga kerja yang murah. Maka, meskipun secara politis kekuasaan negara maju sudah tidak ada, mereka masih mau dan terus menanamkan pengaruhnya di bekas negara-negara koloni.
Inggris menyebut hubungan dengan bekas koloninya sebagai “Commonwealth”. Negara lain berusaha menanamkan pengaruhnya dengan memberi bantuan, ikatan ekonomi dan moralitas, dalam bentuk uang dan pinjaman jangka panjang. Sehingga bekas negara-negara koloni akan terus terikat dalam bentuk hutang yang selalu ditawarkan, hingga akhirnya terbelit hutang dan tidak mampu membayarnya.
Sekarang…
Coba lihat sekeliling kita, adakah barang buatan Indonesia? Tusuk gigi yang ada di dekat saya, “Made In China”. Sepatu di sebuah rak, buatan Amerika, demikian juga beberapa baju kemeja. Komputer saya buatan Jepang, demikian juga sepeda motor. Sementara saya menonton televisi selama satu jam, maka sepertiganya adalah iklan-iklan produk luar negeri ataupun bersaham asing, yang menarik hati.
Buatan Indonesia?! Dulu ada mobil, tapi ternyata bahan bakunya luar dalam dari Korea. Sekarang ada beberapa, misalnya alat elektronik, tapi apakah sebagian besar bahannya dari Indonesia? Atau sebagian besar modalnya Indonesia?
Saya kembali memikirkan diskusi saya dengan seorang teman. Bila suatu saat, Indonesian dan India mampu mandiri seperti China, berdiri di kaki sendiri… Maka negara-negara maju akan bangkrut!
Hanya apakah itu akan direlakan oleh negara maju?!
Pontianak, 01 Mei 2011 (23:40)
Salam Hari Buruh Sedunia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H