Lihat ke Halaman Asli

Iran dan Arab Saudi, Perang Dingin di Kawasan Timur Tengah

Diperbarui: 15 Juni 2020   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Awal tahun 2020, datang berita cukup mengejutkan ketika Amerika Serikat meluncurkan serangan rudal ke Bandara Internasional Baghdad, Irak dan menewaskan Jenderal Iran dan pemimpin pasukan al-Quds, Qasim Soleimani pada (insert tanggal). Kemudian, Iran pun membalas dengan mengirimkan puluhan rudal ke pangkalan militer Amerika Serikat di Irak xx hari setelahnya. 

Serangan ini pun memunculkan spekulasi dunia, akankan serangan ini menjadi pemicu perang antara Iran dan Amerika? Mengingat, ketegangan antara dua negara telah terjadi sejak 4 dekade lalu, dan saat ini telah mengkeruh dengan bentuk dukungan Iran kepada militan- militan oposisi yang dianggap kelompok teroris oleh Amerika Serikat.

Tak hanya dengan Amerika Serikat, hubungan Iran dengan negara- negara tetangganya di kawasan Timur Tengah pun cukup memanas. Salah satunya hubungan dengan Arab Saudi, apalagi, diketahui bahwa Arab Saudi memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat. 

Sebagian besar ketegangan berujung pada perang proxy antar negara, maupun perang antara kelompok oposisi dan pemerintah resmi (perang sipil). Salah satunya adalah perang antara kelompok hizbullah dengan Lebanese Armed Forces (LAF) di Lebanon, atau perang antara kelompok Houthi yang disinyalir mendapatkan bantuan dari Iran dengan pemerintah resmi Yaman dengan bantuan Arab Saudi. 

Dampaknya? Selain kehancuran dari sisi infrastruktur, wilayah yang menjadi medan perang juga dilanda kehancuran secara ekonomi yang berujung pada kelaparan dan gizi buruk.

Iran saat ini digadang- gadang menjadi emerging power di kawasan Timur Tengah, sedikit lagi menyalip Arab Saudi. Kedua negara memang terkenal sudah berada dalam posisi cold war, memperebutkan kontrol terhadap wilayah Timur Tengah. Keduanya sama- sama bergantung dari hasil minyak bumi, dan keduanya juga sempat memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat. 

Namun, hubungan Iran dengan Amerika Serikat sendiri berakhir ketika Iran melakukan revolusi pada tahun 1979, ketika sistem monarki dianggap melanggengkan opresi dan meningkatkan angka penganggurann. 

Revolusi ini berujung pada runtuhnya monarki Iran, perginya Shah Pahlevi (pemimpin tertinggi pada saat itu) mencari perlindungan ke Amerika Serikat, dan naiknya sistem pemerintahan baru. Begitupun hubungan Iran dan Arab Saudi, yang mulai merenggang seiring dengan naiknya Ayatollah Khomeini dan ketakutan Arab Saudi atas popularitas Khomeini yang ditakutkan dapat mempengaruhi rakyatnya.

Perselisihan Iran dan Arab Saudi juga dipengaruhi oleh perbedaan 'aliran' yang dianut keduanya, meskipun bukan penyebab utama, namun perbedaan ini juga merupakan unsur penting yang memicu ketegangan. 

Pada laporan CIA tahun 1980, Iran kemudian disinyalir mulai memberikan dukungan dan bantuan kepada kelompok- kelompok syiah militan di negara- negara lain untuk dapat melaksakan 'revolusi islam' juga. Berbeda dengan Iran yang mempersenjatai diam diam, Arab Saudi menjalin kerjasama dengan negara- negara monarki di Timur Tengah lainnya lewat Gulf Cooperation Council (GCC) untuk memperkuat legitimasi pemerintahannya pada tatanan regional. 

Tak hanya itu, Arab Saudi juga ikut memberikan bantuan ketika Irak melakukan invasi terhadap Iran pada 1980, yang kemudian berujung pada perang selama 1 windu. Bukan hanya ketakutan terhadap menularnya revolusi Iran, Irak juga berniat untuk menganeksasi wilayah Iran yang sejatinya dianggap merupakan milik Irak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline