Lihat ke Halaman Asli

Terjebak Gelar Peringkat Pertama

Diperbarui: 13 April 2023   05:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Jordan Benton

Orang tua mana yang tidak bangga ketika nama anaknya disebut pertama kali sebagai juara pertama saat pembagian rapot? Kemudian, ayahnya maju ke depan untuk mengambil rapot sekaligus mendapatkan ucapan selamat dari wali kelas.Pasti, terbesit rasa bangga pada hati orang tua itu. Karena saking bangganya, ia kabarkan hal itu dengan ucapan kebanggaan, hingga mungkin ada hati orang tua lain yang iri.


Kemudian, ketika sang anak tahu bahwa dia meraih peringkat pertama, ia sedikit heran karena ia tak pernah mengusahakan menjadi peringkat pertama. Tapi, ia juga merasa senang karena setidaknya dia bisa membuat orang tuanya bahagia. Dia juga turut menerima ucapan selamat dari teman-temannya. Dan bahkan, tidak disangkanya, ketika upacara pertama di semester baru, sekolah memberikan apresiasi kepada anak-anak yang meraih tiga besar pada setiap kelas. Nama pun disebutkan satu persatu dan siap menerima hadiah.

Di saat kabar itu mencuat, datang pula seseorang  yang turut membawa map rapot ke rumah. Sedikit mengobrol dengan ayah dan membahas perihal anak mereka masing-masing. Lalu, saling mencocokkan nilai rapot untuk menimbang mana yang paling unggul dan lemah diantara keduanya.Kemudian, membandingkan dan menasehati anak mereka untuk meningkatkan mata pelajaran yang kalah unggul di antara keduanya.

Tidak sampai di situ, efek peringkat pertama nyatanya berjalan di semester berikutnya, di tingkat kelas berikutnya. Mereka menganggap, dia yang peringkat pertama adalah mereka yang pintar dan bisa dalam segala hal. Dikira senantiasa mampu menjawab soal matematika secara langsung di papan tulis, menulis reaksi-reaksi kimia atau hapal seluruh materi biologi. Pada nyatanya tidak, ada soal yang belum ia jawab, ada pula yang salah. Dia juga masih perlu belajar. Bukan malah berucap, "Katanya, dapat juara pertama?"

Dia wajib belajar, semua mata pelajaran. Senantiasa memahami agar bisa menguasai. Tapi, bukankah belajar memang kewajiban setiap siswa? Iya, tapi dia berbeda. Ia memang bisa mempelajari dan bahkan memahami semua mata pelajaran, tapi sayang, ia lupa akan apa yang harus diprioritaskan. Dan akhirnya, ia kebingungan.

Nyatanya, mendapat peringkat pertama bukanlah hanya tentang pencapaian tapi juga perihal tanggung jawab yang dibebankan. Inginnya menjadi siswa biasa yang tak dipandang unggul, tetapi memiliki satu bidang keunggulan yang tak perlu diperlihatkan. Belajar santai seperti teman-teman yang lain. Tidak perlu memikirkan tentang nanti dapat peringkat berapa.


Ini bukanlah tentang anak yang berambisi mendapat juara dan ingin mendapat pujian, tetapi tentang anak yang terjebak dalam gelar peringkat pertama yang pernah diraihnya. Ia juga pernah tidak mendapat peringkat pertama setelah itu. Dia bersikap biasa dan tidak mempermasalahkannya. Tetapi, ia melihat raut kecewa dari orang tuanya.

Jadi bagaimana, tetap ingin mengejar peringkat pertama atau menjadi siswa biasa dan memiliki satu keunggulan yang menjadi prioritas? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline