Foto rapor sekolah dan status tentang nilai rapor muncul di timeline facebook saya. Dibarengi dengan pertanyaan; ranking berapa si anak? Wali kelas si anak tidak menuliskan ranking, membuat bingung (mungkin penasaran). Di lain saat, ada teman yang mengunggah foto anaknya lalu menulis syukur (dan juga bangga) si anak ranking dua. Saat saya bagikan rapor beberapa hari yang lalu, pertanyaan "ranking berapa anak saya, pak?" juga keluar dari wali murid. Itu karena kolom ranking di rapor tak berisi; kecuali untuk tiga besar.
Ranking. Sepertinya, pemikiran melihat hasil proses belajar itu berdasarkan ranking. Ranking 1 berarti seorang siswa berproses di sekolah dengan sangat hebat. Ranking di bawah artinya si anak malas dan tidak pandai. Ini menjadikan ranking sebagai penentu pintar tidaknya si anak atau rajin malasnya si anak.
Padahal ada pula anak dengan ranking 1, namun secara hakikat; proses belajar yang telah dilalui tak ada perubahan atau bahkan turun dari semester sebelumnya. Ini bisa terjadi akibat nilai teman-temannya rendah semua. Sehingga, meski nilai rata-rata si anak turun; dia tetap yang paling tinggi di banding teman sekelasnya. Bila fokus pada ranking, maka kasus menurunnya nilai si anak akan hilang tak berbekas.
Oleh sebab itu, rapor sejatinya adalah bentuk laporan proses belajar peserta didik. Dia adalah buku rekap bagaimana siswanya bersekolah. Hal tersebut disebabkan karena nilai rapor merupakan perpaduan dari, setidaknya, tiga penilaian. Ada nilai harian, nilai sikap, dan nilai ujian. Dan masing-masing nilai itu punya sub-nilai. Nilai harian terdiri dari tugas-tugas sekolah, latihan, PR, dan ujian ulangan. Sedangkan nilai sikap bisa dilihat dari absensi anak dan kelakuannya di sekolah. Sedangkan nilai ujian didapatkan dari hasil ujian tengah semester dan akhir semester.
Kurikulum KTSP yang dipakai banyak sekolah saat ini tidak memasukan nilai sikap pada salah satu item di rapor sekolah. Makanya, nilai sikap digabungkan kedalam nilai harian; dan tetap disebut nilai harian. Ini menjadikan pengolahan nilai terdiri dari akumulasi nilai harian dan nilai ujian semester. Secara tematis ditulis: NR=NH+NS.
Namun, ada juga pemakaian metoda pembobotan dalam menentukan NR. Contohnya, untuk mendapatkan NR, saya mengambil 80% nilai harian dan 20% nilai ujian semester; atau NR=(80%xNH)+(20%xNS). Metoda seperti ini dilakukan karena menimbang fokus penilaian di sekolah lebih berat ke proses bersekolah (belajar), bukan pada hasil ujian.
Dengan metoda pembobotan, rasa keadilan akan lebih tercipta. Ada anak yang secara kognitif lemah dalam matematika, tidak akan bisa dipaksa untuk bisa. Akan tetapi dia bisa dipaksa untuk rajin. Kerajinan itulah yang disebut belajar. Tuhan memberi kecerdasan berbeda untuk setiap anak; every children are special kata Amir Khan dalam filmnya Taare Zameen Par. Jadi tidak bisa seorang anak diminta untuk cerdas pada satu bidang; tetapi dia bisa diminta untuk rajin.
Kembali pada sebuah buku rapor, bagaimana cara membaca dan mengetahui seorang anak ada berusaha dan berproses di sekolah? Ya, tentunya dari nilai-nilai yang tertera pada tiap mata pelajaran di buku rapor itu sendiri; bukan pada kolom ranking saja. Dari kolom itu, bisa terlihat si anak ada "bersekolah" atau tidak. Dari nilai antar semester pun, bisa terlihat si anak ada mengalami perubahan cara belajar atau tidak.
Tiap mata pelajaran mempunyai kriteria ketuntasan minimum (KKM). Sewajarnya, seorang guru tidak akan memberikan nilai di bawah KKM bila siswanya rajin dan tak ada masalah. Minimal sebatas KKM bila si anak benar-benar tidak mampu dalam mata pelajaran tersebut. Itu nilai proses kerajinan. Bila si anak pandai, tentulah nilainya akan jauh di atas KKM.
Jadi apakah perlu lagi mencari tahu ranking? Ya tentu saja, sebagai bahan evaluasi dan motivasi; bukan sebagai bahan untuk menghakimi anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H