Sumber : Pixabay (free image)
Ibuku adalah sosok penyabar yang tiada henti mengajariku. Ibu sekolah pertamaku. Dari aku tak bisa apa-apa menjadi agak bisa, bisa dan akhirnya sangat bisa. Salah satu pepatah ibuku yang selalu kuingat, “Olah bisa karena biasa”. Sebuah pepatah yang sebenarnya dapat mengilhami para jenius yang mampu mengubah peradaban dunia.
Kita tentu ingat siapa dan bagaimana kisah perjalanan hidup Si Jenius Thomas Alva Edison. Si penemu listrik dan teknologi lainnya yang mampu mengubah dunia itu ternyata berkat ibunya. Tak terhitung berapa ratus bahkan berapa ribu kali Thomas Alva Edison melakukan percobaan hingga menemukan bola lampu.
Semakin terbiasa, semakin berkali-kali melakukan percobaan maka menjadikan Thomas Alva Edison semakin paham. Sikap pantang menyerah hasil didikan sang ibu, menganggap semua kegagalan dalam proses penemuannya bukanlah sebuah kegagalan tetapi juga sebuah penemuan.
Sejak dikeluarkan dari sekolah formal akibat tingkah lakunya yang dipandang “aneh” dari pada teman-teman lainnya, ibu Thomas Alva Edison yang bernama Nancy Matthews Elliot langsung bertekad untuk menjadi guru pribadinya di rumah. Berkat kesabaran ibunya, Thomas Alva Edison mengalami perkembangan luar biasa.
Tak mengherankan jika dalam buku “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” karya Michael H. Hart, menempatkan Thomas Alva Edison pada rangking ke-35 sebagai manusia paling berpengaruh di dunia karena berbagai penemuannya. Sekali lagi, semua itu berkat kesabaran ibunya dalam mendidik Thomas Alva Edison. Hal ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu bukti betapa besar peran ibu sebagai guru pertama bagi anak-anaknya.
Pentingnya peran ibu atau orang tua dalam pendidikan bagi anak-anaknya di rumah, telah menjadi gagasan bagaimana menjalin kerjasama antara guru di sekolah dengan orang tua di rumah dalam memantau perkembangan belajar anak. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini, dimana pembelajaran dilaksanakan dengan pola jarak jauh. Ibu atau orang tua tentu harus menjadi guru utama di rumah.
Ki Hajar Dewantara telah menuangkan konsep penting mengenai Tri Sentra Pendidikan, yaitu Sentra Keluarga, Sentra Perguruan dan Sentra Masyarakat. Tokoh pendidikan nasional kita ini tentu sudah memotret salah satunya yaitu bagaimana peran orang tua, terutama ibu, yang akan berperan sebagai guru pertama bagi anak-anaknya sebelum melangkah ke sekolah formal.
Di dalam konsep Sentra Keluarga, ibu atau orang tua akan bersikap “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Yang artinya kurang lebih yaitu di depan memberi teladan, di tengah membangun kemauan, di belakang memberi dorongan dan pengaruh.
Aku bukanlah seorang jenius layaknya Thomas Alva Edison. Namun seolah aku dapat merasakan asupan-asupan ilmu sejak pertama kali ibu mengajariku dalam berbagai hal. Saat mengajariku pertama kali berjalan, mungkin ibuku tak mampu menghitung lagi berapa kali aku harus terjatuh dan berapa kali aku menangis. Namun kesabarannya berbuah manis hingga akhirnya ibu tersenyum riang karena aku bisa berjalan. Demikian pula saat mengajariku berbicara, mengajariku cara berhitung, cara membaca dan sebagainya. Kesabarannya menjadi guru pertamaku tak ternilai harganya.
Setelah aku mulai besar, ibuku mengajariku apa itu arti sebuah kejujuran. Dari hal-hal yang sangat kecil. Misalnya ketika aku disuruh membeli sesuatu di toko dan setelah sampai di rumah ternyata ada kelebihan uang kembalian. Kemudian ibuku langsung menyuruhku untuk mengembalikannya lagi uang tersebut ke toko dimana aku membelinya, padahal pemilik warung tak mengetahui kekeliruannya. Dan meskipun sebenarnya jumlah uangnya juga tak seberapa. Ini merupakan pelajaran luar biasa dari guru pertamaku.