Lihat ke Halaman Asli

Si Hape Pendiam

Diperbarui: 29 September 2015   09:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Si hape “stupid phone” di zaman sekarang terlalu pendiam, memang sekarang masih zaman menghubungi orang melalui SMS (Short Message Service)? Deringnya meredup seiring saingannya semakin eksis, SMS? Paling operator yang nyampah dengan message tak jelas bahkan tak membangkitkan nafsu membaca. Dulu si hape ini tidak sependiam ini, setidaknya beberapa tahun yang lalu seorang teman SMA, jauh dari perantauan memulai percakapan yang membuat hape ini berguna. Si perempuan sederhana berambut pirang alami dengan cantik yang natural, yang takkan luntur jika terkena hujan dan tentunya tanpa pensil alis.

Gila ya, dia menelpon dan berbicara panjang lebar bukan karena aku tapi hapeku yang istimewa, apalagi kalau bukan operatornya yang sama. “Kamu lagi ngapain?” pertanyaan pemancing segala jawaban, dan pulsa yang tahan lama memperpanjang obrolan. Nyaris tak pernah bertemu selepas SMA, tak seakrab mereka yang kabarnya kena friendzone tapi kami bercengkrama nyaris tanpa batas. Hape ini mulai berfungsi lebih, setidaknya baterainya tidak kuat lagi untuk digunakan tiga hari, naiklah pangkatnya tidak sebatas alarm.

Dia yang memulai semua, pulsanya dia habiskan menelponku. Sekarang aku sadar jarak dan waktu memahalkan semuanya, termasuk juga hubungan. Malam-malam berlalu sampai mulai menahun, dari cerita asmara tak berujung sampai masa depan yang ingin diraih semuanya dimulai dari suara yang keluar dan layak dirindu dari sebuah hape bodoh. Oh, ini yang namanya curhat. Si penggalau itu membuatku merindu, tentulah rindu sebagai teman. Dia bercerita tentang pacarnya dan aku cerita calon pacarku. Biasa sekali bukan? Sebuah hubungan yang didasari persahabatan.

Dari ceritanya menahan rindu dan melawan dunia, aku menjadi saksinya. Lemahnya dia saat sendiri, dan panggilan tak terjawab di hape bodoh dari dia membuatku khawatir, apa dia bisa menjalani hidupnya. Tangis dan nada memanja tanda tak mampu dia sendiri, aku pun berbicara ala kadar, maklum hanya seorang lemah yang tak berpengalaman. Eh..eh.., malah dia suka mendengarnya. Cintanya yang diujung tanduk, membuat hati si penggalau cenat-cenut seperti kesedihan yang belum bertemu dengan muaranya

Kini si penggalau ulung itu malah berganti menjadi pendengarku, aku menjadi si sedih yang bertepuk sebelah tangan, perlu iba dan perhatian darinya. Sekali lagi semua sebatas suara, tanpa ada sentuhan fisik apalagi pelukan yang memanjakan dan menyamankan. Halah, punya pendengar saja lebih dari cukup. Sekarang hari-hari menjadi ganjil ketika tanpa bersua dengannya, kikuk, kaku dan semangat yang terlipat dibawah bantal. Galaumu pun nyaris membahagiakanku saat cintamu memiliki tanda akan berakhir. Yah, aku pun mencoba sedikit etis, kuselipkan sedikit ibaku saat air matamu mulai terdengar dari hape bodohku.

Waktu semakin berlalu, obrolan mengenai cinta nyaris kadaluarsa. Menghabiskan waktu melalui si hape bodoh, dengan membicarakan hal yang berbau masa depan. Rasanya sevisi-semisi, ternyata perempuan cantik nan muda sepertimu punya naluri yang kuat dalam berumah tangga. Seperti sinyal untukku agar segera memapankan diri, dan anehnya semua mulai terarah padamu. Khalayan-khalayan gila mulai tumbuh saat kita bercengkrama, tentunya melalui hape bodoh ini. Romantisme yang aneh tapi selalu ada benih cinta dan penantian saat mulai berbicara.

Tanpa sadar ada salah satu dari kita yang menggali kuburan sakit hati, tidak seimbang hanya salah satu diantara kita, tepatnya aku. Cinta mengundang kebahagiaan dan kesedihan, cinta merangsang bagian di otak untuk merasa mabuk dan meminta pertanggungjawaban hati dan logika jika cinta kadaluarsa. Egois bukan jika hanya meminta bagian bahagianya saja, cinta itu koin, dua hal terjadi bergantian namun tetap satu bagian. Seperti sebelum-sebelumnya, aku terkena bagian yang sialnya.

Mulai lama tak berkabar karena sibuk, ternyata awal dari malapetaka. Seperti sebuah skenario klasik, lama tak bersua ternyata kau punya sesuatu yang digunakan untuk menghabiskan waktu dan membangun mimpi. Pacar, suatu hal yang aku kira sebelumnya bagianku, ternyata tak berselang lama status agung itu dimiliki lelaki lain. Sungguh sebuah kisah yang mudah ditebak, tapi sakitnya tetap sama menyesakan dada dan mengaburkan masa depan. Betapa tidak, perempuan yang diharap menjadi ibu dari anak-anak sehat nan cerdas sekarang berada di pelukan pria lain.

Kabar yang lebih buruk adalah bagaimana dia tidak tahu, seorang laki-laki yang bertransformasi menjadi pendengar yang baik ternyata tidak pernah menjadi bagian dari mimpi besarnya. Ternyata masa depan yang dikira manis, yang dihiasi dengan pernikahan indah bersama si penggalau lumpuh ditengah jalan. Si pemilik hape pendiam yang bodoh itu, tak sanggup berpindah hati dari perempuan yang dia persembahkan hatinya bahkan seutuhnya. Cemooh pun tak akan membuat hatiku mengosongkan atau melupakan si penggalau.

Hari-hari biasa akan kembali dilalui, yang sebelumnya pernah diisi dengan suara dari hape bodoh. Hambar dan suram, hape bodoh kembali berfungsi sebagai alarm dan baterai akan sangat kuat, mungkin lebih tiga hari karena energi patah hati yang pemilik memberinya kekuatan pada baterainya. Kini tinggal menunggu waktu berduka yang lebih, sebuah surat undangan yang datang, lebih beracun dari baygon dan membunuh pada saatnya. Selamat patah hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline