Saba berkeringat, napasnya tertahan. Tangannya bergetar mencabut jarum suntik dari nadi. Ruangannya gelap. Hanya lampu meja yang menerangi. Dia duduk di sudut ruangan.
Oriza membuka pintu. Dia Membawa tumpukan jurnal yang diminta lelaki itu. Perhatiannya langsung menuju lampu meja yang menyala. Dia ingin berteriak. Saba meletakan jari telunjuk di bibir. Gadis itu mengangguk.
Oriza mendekati Saba. Mengambil tisu dan mengusap dahi lelaki itu perlahan-lahan. Gadis itu menatap lembut. Iba melihat Saba menyuntik anti nyeri. Asam lambung dokter itu kumat.
"Sebaiknya istirahat saja. Saya bisa tukar jadwalnya."
Saba menatap Oriza. Dia menemukan dirinya dalam mata gadis itu. Yang pertama sebagai asisten. Yang kedua sembunyi dalam kata sahabat. Nyalinya ciut untuk mencoba yang ketiga. Lelaki itu tersenyum mencoba menyentuh wajah Oriza.
"Cantik."
Gadis itu menghindar, menunduk dan menjauh dari Saba.
"Kamu butuh teh. Saya buatkan dulu."
Oriza berjalan menuju pintu. Wajahnya memerah. Hari ini akan jadi masa lalu. Dan cukup hari ini saja. Namun hatinya tidak dapat ditipu. Berdetak keras, tidak terkendali.
"Saya butuh kamu."
Oca menghentikan langkahnya. Kata itu tidak perlu diulang kali kedua. Rasa panik menjalar, lusa lelaki itu pemberkatan pernikahan. Perlahan dia membalikkan tubuh ke arah Saba.