Lihat ke Halaman Asli

Anjani Eki

Penikmat Fiksi

Janji Oktober Sembilan Puluh Dua

Diperbarui: 9 Agustus 2016   10:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tiga orang dokter datang dalam bakti sosial di tempatku. Dua orang dokter laki-laki dan satu perempuan. Dokter perempuan  itu seperti bidadari. Ah, cantik sekali. Jas putih sangat pas di tubuhnya. Tidak tinggi, tidak pula pendek.  Kulitnya kuning langsat. Matanya kecil dengan bulu mata lentik. Rambutnya mungkin sebahu. Dikuncir seadanya. Namun tetap mempesona. Kagum sekali aku padanya.

Bakti sosial semacam ini sangat jarang di tempatku. Wilayah padat penduduk. Rumah berdempetan. Penuh sesak dengan pembuangan air yang tidak baik. Sampah yang menumpuk di ujung jalan. Bau busuk sering kali menyengat. Tapi sudah biasa. Kaum pinggiran seperti kami tidak punya pilihan.

Susah payah aku ikut mengantre. Mengenakan daster merah yang sudah lusuh. Sesekali memegang perutku yang mulai membesar. Ratusan warga datang. Kapan lagi berobat gratis. Semua berkumpul di lapangan RW. Kursi plastik berderet rapih di bawah pohon trembesi. Oktober sembilan puluh dua.

Kulitku sudah tiga bulan gatal. Hampir di seluruh badan memerah. Paling parah di kaki. Penuh dengan luka. Di beberapa bagian telah menjadi koreng. Mengelupas. Berdarah. Ditambah jamur kuku di jari tangan. Hijau kecokelatan hampir menutup kulit di bawah kuku.

Giliranku tiba juga. Aku menyapa dokter perempuan itu dengan senyum ramah. Perempuan berbibir merah itu tidak menatap mataku sama sekali. Menjawab salamku seadanya.

Dia melihat bagian kakiku dengan jijik. Sama sekali tidak menyentuhnya. Bidadari itu hanya mendengar keluhanku. Tanpa menatap mata. Memberikan salep kulit dan obat gatal. Kemudian segera memanggil pasien berikutnya.

                                                                                                                                   ***

Oktober dua ribu lima belas. Aku berada di bangku khusus. Deretan paling depan. Menatap putriku dengan mata berkaca-kaca. MC memanggil namanya. Putriku naik ke panggung dengan tepuk tangan oleh semua tamu yang datang. Lulusan terbaik. Rektor memberinya selamat. Menyerahkan piagam penghargaan.

Mia, berlari kearahku dan mencium lembut tanganku.

"Terima kasih sudah menjadikan Mia yang terbaik Bu ".

Aku memeluknya. Memegang pipi Mia dengan kasih sayang. Aku menatap kedua matanya. Tatapan lembut, dalam dan tegas. Suaraku bergetar. Parau. Menahan kristal bening di mataku agar tidak jatuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline