"Apa Tuhanmu marah kalau kamu minum bir ?" saya hanya tersenyum kepada Shou.
"Tidak ada yang akan tahu kalau saya minum bir. Saya bisa ngumpet dari orang lain. Tapi ini bentuk komitmen saya pada Allah "
Pria asal Tiongkok itu mendengarkan saya dengan seksama. Matanya menatap saya dengan dalam. Wajahnya dipenuhi berbagai pertanyaan. Kami berkenalan pagi tadi. Saat mengikuti trip menikmati sunrise di setumbu hills dan candi Borobudur.
Shou mahasiswa tingkat akhir jurusan matematika di Shanghai. Usianya 24 tahun. Dia memutuskan backpacking ke Indonesia seorang diri. Kota Jogja dia pilih berdasarkan referensi dari buku "loonely planet". Kitab suci para backpacker.
Dua belas negara telah dia kunjungi. Backpacking adalah cara yang dia tempuh untuk mencari makna hidup. Hatinya gundah gulana mencari jawaban dari sebuah pertanyaan besar "Does God exist?".
Sulit baginya untuk percaya adanya Tuhan. Sebagian besar orang Tiongkok tidak punya agama. Begitu yang dia katakan pada saya. Percakapan kami berlanjut sambil menyusuri jalan di kota gede, Jogjakarta.
"Kami percaya bahwa leluhur yang akan menjaga kami. Entah bagaimana caranya. Tapi saya sendiri meragukannya. Apa kamu bisa melihat Tuhan?"
"Tidak semua yang tak tampak artinya tidak ada. Tapi saya yakin bahwa Allah ada walaupun saya tidak bisa melihat Nya"
Dia mencoba menalar bagaimana mungkin saya patuh dalam versinya tanpa ada yang mengawasi ? Saya tidak minum alkohol dan tidak makan daging babi. Tidak akan ada hukuman seketika ketika melanggar. Bukankah seharusnya saya bisa bebas melakukan apa saja.
"Apa yang kamu lakukan ketika ada masalah Jasmine?"
"Berdoa. Menatap langit dan yakin Allah akan membantu saya"