Lihat ke Halaman Asli

Ini Egois, Katanya

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mementingkan diri sendiri daripada orang lain.

Kawan, kali ini aku akan menceritakan sebuah kisah. Entahlah, coba kalian yang mengungkapnya apakah ini termasuk dalam kategori egois atau bukan. Ya, kisah yang kuceritakan padamu kali ini adalah sebuah kisah nyata yang aku sendiri menjadi saksi matanya.

Dia teman baikku. Namanya Ika. Dia memiliki beberapa orang saudara. Benar, ia berasal dari keluarga yang mampu. Sewaktu kami masih kecil, masih lekat dalam ingatanku tiap kali ia menengadahkan tangan meminta sesuatu kepada ibunya, ibunya tak pernah menolak. Pernah suatu kali ia merengek, tak mau makan dan menangis sekencang-kencangnya meminta dibelikan sebuah anting berbentukMickey Mouse, tokoh kartun kesukaannya, ibunya sampai tiga kali bolak-balik dari rumahnya yang berjarak lumayan jauh dari toko emas.

Selalu seperti itu. Ika adalah anak manja yang selalu meminta sesuatu yang sesuai keinginannya dan hal itu harus segera diwujudkan. Meski begitu, orang tuanya tak pernah menolak karena mereka cukup berada. Saking sayangnya kepada semua anak-anaknya, orang tua Ika sangat memanjakan anak-anak mereka dengan materi, namun minim kasih sayang.

Kemanjaan tersebut berlanjut hingga Ika duduk dibangku kelas 3 SD. Krisis moneter berdampak buruk bagi keluarganya. Banyak harta dari orang tua Ika habis karena harus mengalami kerugian yang cukup besar. Namun, untuk Ika dan saudara-saudaranya, hal tersebut sangat disembunyikan oleh kedua orang tua mereka. Perkataan ibunya yang awalnya seperti, “Iya, ibu belikan sekarang.” Berubah menjadi, “Ibu akan belikan jika sudah ada uang, ya?”

Benar-benar terbalik.

Aku selalu menyertai kawanku ini. Ia setidaknya tak pernah menutupi semua masalah pada dirinya terhadapku. Ia tahu, ia selalu berbohong pada orang lain tentang perasaannya yang sesungguhnya, namun padaku ia mampu mengatakannya dengan jujur beserta alasan ia melakukannya.

Ya. Ika berubah tepat saat ia SMP.

Jarak memisahkan kami, namun komunikasi kami tetap berjalan.

Ika berubah menjadi anak yang tak banyak mau dan suka memendam perasaannya. Satu hal yang ia dapat lakukan hanya diam dan menunggu. Ia diam dan berusaha merelakan semuanya. Ia diam dan berusaha melapangkan dadanya. Ia diam dan berusaha menerima semua yang diberikan untuknya dan bersyukur akan semua yang ia miliki kini.

Ia benar-benar bermetamorfosis menjadi sebuah pribadi baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline