Cheung Chau masih saja seperti dahulu, masih tetap mempesona. Jalan-jalan sempit dengan sepeda berseliweran, kios-kios kecil di depan pelabuhan menawarkan penginapan dan motel bagi pelancong yang berminat tinggal sesaat menikmati kehidupan kampung nelayan yang mulai bersolek tersebut. Kuhirup dalam-dalam udara laut yang terbawa angin semilir musim semi. Hangatnya sinar mentari menambah cerahnya hari ini. Ah.. lapak kecil yang menjual bakso ikan tak jauh dari tempatku berdiri masih ramai seperti dulu. Dan, aku teringat kamu. Kau sangat menyukai bakso ikan khas Cheung Chau yang ukurannya jauh lebih besar dari bakso ikan pada umumnya, rasanya pun berbeda. Dan kau selalu membeli beberapa tusuk walau aku melarang. "Dimakan sambil jalan, Eileen. Nanti ku sisakan sedikit untukmu", kilahmu sambil berlalu tanpa membayar. Kau selalu saja menggodaku. Hari ini aku ingin kembali ke sini, menyusuri jalan kenangan kita. Berjalan kaki ke Hanging Rock memandang luasnya laut tak berbatas lalu menunggu sunset merah seperti dulu waktu kau masih di sini.
Aku rindu menyusuri bebatuan besar dengan tangga kecil dari beton yang mengarah ke sisi lain menuju Hanging Rock. Dulu kau selalu berjalan di depan dan menggenggam tanganku dengan lembut, membimbingku perlahan menuruni tangga curam berpayung pepohonan besar. Kali ini aku hanya sendiri berjalan perlahan menyusuri bebatuan sambil sesekali tersenyum mengingat tingkahmu yang terkadang konyol. Hembusan angin musim semi bercampur bau laut membelai wajahku, sesejuk belaian tanganmu ketika kau menghapus keringat yang meleleh di wajahku.
Ah.... Dan, apa kabarmu? Tiga purnama sudah tak kuterima kartupos darimu. Sembilan memang angka kesukaanku tapi aku tak ingin kartupos-kartupos itu berhenti di angka itu. Tak terasa aku hampir sampai di Hanging Rock. Hanya perlu melintasi batu besar di depan lalu naik tangga berputar. Tinggal beberapa langkah sampai aku tiba di tempat kenangan kita. Tempat pertama kita bertemu. Juga tempat dimana kau nyatakan perasaanmu. Tempat yang sama kita selalu menunggu matahari yang perlahan beranjak menarik selimut malam. Napasku memburu setelah sampai di puncak. Ku melihat sosokmu, Dan. Tapi kau tak sendiri. Ada sesosok tubuh semampai dalam pelukanmu. Benarkah itu kamu? Aku mempercepat langkahku, mendekat untuk memastikan itu kamu. Ya, itu kamu. Tatto di tengkukmu tak kan menipu.
"Dan, it's nice to see you here. Where have you been?", sapaku agak keras agar kau menyadari kehadiranku. Kau berbalik dengan pandangan terkejut tapi lenganmu yang kokoh tak lepas dari pinggaang wanita itu. "Eileen, what a coincindence! Apa kabar? Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu sendirian?" Kau menghujaniku dengan pertanyaan. Aku tahu kau hanya ingin menutupi kegugupanmu. Aku tersenyum padamu tapi hatiku mulai terasa teraduk-aduk ketika aku bergantian melihatmu lalu melihatnya. Pikiranku berusaha mencerna kejadian yang terpampang di depan mata. "Kabarku baik sekali, Dan. Never been better". Tentu saja aku berbohong. Ku tarik napas panjang meredakan badai yang berkecamuk di dadaku. "Kau tak mengenalkan pasanganmu kepadaku, Dan?" "Oh, hampir lupa. Perkenalkan ini Helen. Kami menikah dua bulan lalu dan kami ke sini untuk berbulan madu." Jawabmu sambil menariknya mendekat dan mendaratkan kecupan di pelipisnya. Reflek ku ulurkan tangan kepadanya sambil menyebut nama. Mau tak mau aku harus berbasa-basi sejenak lalu pamit untuk meneruskan perjalanan setelah menolak ajakan makan malam bersama kalian. Aku memutuskan untuk pulang saat itu juga. Aku tidak mau berlama-lama di tempat itu.
Perjalanan ke pelabuhan ku tempuh dengan langkah cepat setengah berlari. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat ini. Marah kah? Yang pasti aku kecewa, sangat kecewa hingga untuk menangis pun aku tak sanggup. Setahun yang lalu hari ini, kau ucapkan kata perpisahan untuk kembali. Ya kau memang kembali, Dan. Tapi bukan untukku. Aku teringat percakapan terakhir kita di kafe langganan kita. Kau bilang kita akan mengikat janji setelah kau wujudkan impianmu. Membiarkanmu menjelajah dunia dalam setahun, katamu. Aku hanya bisa mengiyakan dengan berat hati karena aku terlalu terbiasa denganmu tapi aku juga tak mau menghalangimu untuk mewujudkan mimpi. Andai kau tahu betapa beratnya melalui setahun terakhir ini dengan bertanya-tanya apa kabarmu dimana pun saat itu kau berada. Lalu jika tiba sepucuk kartupos dengan tulisan tanganmu, aku menghembus napas lega karena aku tahu kau baik-baik saja. Dan, now I know that you're okay but I am not.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H