Kemarin (19 Juni 2013) Kabupaten Madiun mengadakan Pemilukada Bupati dengan mengusung 4 pasangan calon. Saya tidak tahu detail tentang mereka karena saya sudah lama merantau dan baru kembali. Jangankan tahu tentang para calon pejabat itu, anak-anak tetangga saja saya tidak hapal namanya satu per satu, bahkan masih sulit membedakan si ini anak siapa atau si itu cucu siapa.
Beberapa hari sebelum "coblosan" surat panggilan pemilih diedarkan dan karena keluarga kami terdiri dari 4 orang maka kami dapat 4 lembar surat. Saya tidak terlalu memperhatikan karena saya pasti tidak memilih karena tidak tahu harus memilih calon yang mana. Dapat dipastikan adik saya juga tidak akan menggunakan hak suaranya karena dia bekerja di luar kota.
Malam berikutnya, ibu saya ribut (lebih kepada ngomel sendiri) tentang uang yang tidak dimasukkan amplop. Saya bertanya pada beliau siapa lagi yang punya gawe kok ngeributin amplop, maklum akhir-akhir ini tetangga saya banyak yang menikah.
Beliau cerita kalau Mbak N (seorang timses salah satu pasangan calon) barusan mampir menyerahkan dua lembar uang nominal Rp20.000 disertai pesan "Jangan lupa coblos Mbah XX nomor XX ya." Saya tidak kaget kalau bakal ada politik uang seperti ini, saya hanya berpesan kepada ibu untuk memilih calon bukan berdasarkan amplopan. Tak ada bahasan setelah itu.
Lalu kemarin pagi, ibu (tidak biasanya) masuk ke kamar saya dengan semangat membara mengajak saya nyoblos. Acuh tak acuh saya bilang saya tidak akan berangkat ke TPS, toh sebelumnya saya sudah menjelaskan alasan kenapa saya tidak memilih. Intinya kami eyel-eyelan antara saya yang tidak mau pergi dan ibu yang memaksa saya harus mencoblos satu pasangan calon.
Berkali-kali saya menjelaskan ke beliau kenapa saya tidak berangkat dan beliau dengan keras kepalanya berusaha mempengaruhi saya untuk mencoblos calon yang timsesnya memberi amplop beberapa malam yang lalu bahkan menyangka saya tidak mau memilih karena tidak kebagian amplop.
Hal ini membuat saya dongkol dan menyudahi perdebatan dengan nada bicara yang mulai naik. Beliau akhirnya mundur teratur karena tahu kalau diteruskan akan berbahaya apalagi jika saya benar-benar meledak.
Saya benar-benar dongkol entah kepada siapa. Kampanye pemilu bersih untuk Madiun baru ternyata sama saja dengan pemilu jaman dulu. Uang berbicara. Para calon sogok sana sogok sini. Dan saya yakin tidak hanya si Mbah XX yang main kotor. Sorenya di Sakti (tevenya orang Madiun) bahkan diberitakan ada orang yang tertangkap tangan membawa amplop bertuliskan Madiun Baru ketika membeli bensin eceran di salah satu kecamatan.
Tapi entah kenapa laporan kepada orang tersebut malah dicabut oleh pelapor. Uang bicara lagi? Entahlah yang pasti tidak jadi diperkarakan.
Mungkin inilah potret sebenarnya negara kita, siapa yang salah kalau pemilihan umum dari jaman orba sampai jaman reformasi sama saja lagunya, masih tetap uang yang berbicara. Calon pejabat yang membutuhkan suara rakyat atau rakyat yang memilih hanya berdasarkan siapa yang bayar (lebih)?
Saya jadi ingat pemilihan umum di Hong Kong yang kebetulan diadakan sesaat sebelum saya pulang. Kampanye ramai-ramai ada dan mirip di tanah air. Tak hanya banner, bahkan billboard tentang calon legislatif berdasarkan distrik terpampang di sepanjang jalan utama.