Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Usia Dini

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13475906341879143278

[caption id="attachment_198912" align="aligncenter" width="605" caption="Courtesy : Yswitopr"][/caption]

Pendidikan Usia Dini: Antara Bermain dan Belajar

“Dari mana, Dik?” iseng-iseng saya bertanya kepada anak kecil yang saya temui di depan rumah. Anak kecil itu adalah anak salah satu keluarga muda yang menjadi tetangga saya.

“Pulang sekolah, Om” jawabnya ringan sambil berlari-lari mendekati saya.

“Ya ampun, masih kecil kok sudah sekolah. Sekolah di mana, Dik?”

“Saya sekolah di PAUD” adik kecil itu menjawab pertanyaanku dengan gaya khas anak kecil. Ada nada manja dan sekaligus keceriaan terpancar dari setiap gerakan anak kecil itu.

Inilah potret masyarakat. Pendidikan usia dini pun dipandang sebagai sebuah sekolah. Jadi terlintas sebuah pemikiran: apa arti sekolah? Menurut Wikipedia, sekolah bermakna waktu senggang atau waktu luang. Pada zamannya, sekolah menjadi sebuah kegiatan mengisi luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Berbagai kegiatan yang dilakukan adalah cara berhitung, cara membaca, mengenal budi pekerti dan estetika. Pendampingnya pun bukan sembarang orang, melainkan mereka yang sungguh ahli sehingga berbagai kegiatan itu hanyalah cara untuk sampai kepada perkembangan anak.

Faktanya sekolah telah mengalami penurunan makna. Sekolah telah direduksi menjadi sebuah angka atau nilai. Hal senada juga terjadi pada pendidikan usia dini. Artinya pendidikan usia dini dipandang sebagai tempat pendidikan sebelum masuk ke pendidikan dasar. Dengan kata lain, pendidikan usia dini mempersiapkan anak untuk masuk ke jenjang selanjutnya. Akibatnya ada tuntutan dari orang tua: selesai pendidikan usia dini, anak harus sudah bisa membaca dan menulis.

[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="Courtesy : Yawitopr"][/caption]

Tuntutan tak tertulis dari orang tua semacam ini membuat tempat-tempat pendidikan usia dini yang semakin menjamur saling berlomba-lomba menawarkan program pendidikan yang bisa mencetak anak siap masuk pendidikan dasar. Semakin hebat dan menarik penawaran, semakin lakulah tempat pendidikan itu.

Akibatnya adalah pendidikan usia dini semakin kehilangan jatidirinya. Pendidikan dini telah menjadi tempat belajar. Anak-anak dijejali dengan berbagai ilmu supaya nanti bisa masuk ke sekolah dasar favorit. Tuntutan zaman ini semakin meminggirkan idealisme tempat pendidikan yang semata-mata mendampingi anak-anak seturut perkembangan fisik dan psikisnya. Pendidikan usia dini yang menawarkan pendampingan anak-anak dengan metode bermain sambil belajar tidak laku sebab konsep itu dipandang tidak mencetak anak-anak siap masuk ke jenjang pendidikan dasar.

Bisa jadi, inilah gambaran pendidikan usia dini di tengah masyarakat kita. Bagaimana dengan gambaran pendidikan usia dini di daerah lain yang lebih maju dibandingkan dengan negeri ini? Kita bisa membandingkan situasi pendidikan dini dengan Hong Kong misalnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="Courtesy : Yswitopr"][/caption]

Di Hong Kong anak-anak memang diwajibkan untuk masuk sekolah pada usia 3 tahun, tapi hal tersebut tidak serta merta membuat mereka terkungkung oleh proses pembelajaran yang berat. Sistem pembelajaran yang diterapkan disesuaikan dengan usia anak di mana pada usia tersebut anak perlu belajar bersosialisasi dan bermain. Belajar lewat bermain, prinsipnya.

Belajar di kelas memang kewajiban tapi porsinya sangat sedikit jika dibandingkan waktu bermain. Kebanyakan sekolah di Hong Kong menyulap kelas-kelas untuk anak playgroup menjadi taman bermain kecil.

Tiap kelas separuhnya dipergunakan untuk menampung berbagai jenis mainan dengan tema tertentu.Misalnya supermarket. Tentu saja menyediakan rak-rak kecil berisi buah-buahan plastik, uang-uangan, trolley dan sebagainya. Kadang disulap menjadi rumah-rumahan lengkap dengan dapur dan ruang tamunya. Semua itu tergantung pada jenis mainan apa yang dikeluarkan hari itu.

Tak hanya itu, anak-anak juga punya jadwal bermain di luar kelas, bisa di playroom maupun taman bermain di halaman sekolah. Karena sekolahan di Hong Kong bersaing secara mutu, maka meskipun disebut playroom tapi isinya mainan-mainan edukatif yang merangsang rasa keingintahuan anak-anak dan membiasakan mereka berpikir kritis. Mainannya bisa berupa balok-balok besar kecil yang bisa dibongkar pasang, kain dengan berbagai tekstur dan warna. Kadang terlihat sederhana tapi para guru memakainya sebagai alat edukasi untuk melatih psikomotor anak-anak didik.

Di saat-saat seperti inilah kemampuan bersosialisasi anak diasah. Mereka belajar bagaimana berbagi mainan dengan teman-temannya tanpa boleh menang sendiri. Mereka belajar bagaimana bermain dengan tertib dan rapi. Mereka belajar bertanggung jawab juga karena setelah bermain mereka harus merapikan mainan masing-masing dan mengembalikannya ke tempat semula.

Pun ketika mereka bermain di taman bermain. Mereka harus tertib dan saling menjaga agar tidak ada yang sampai terluka atau menyakiti salah satu temannya. Kita pasti tahu sendiri bagaimana anak-anak kalau sudah kumpul teman dan bermain di taman.Semua pasti menjadi tak terkendali. Di sinilah saat anak-anak belajar mengontrol emosi dan ego agar permainan lancar dan semua senang.

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Courtesy : Dwi"][/caption]

Banyak hal menyenangkan yang dirasakan anak-anak usia TK di Hong Kong karena belajar tidak harus selalu di kelas ataupun playroom. Beruntung sekali karena Hong Kong mempunyai banyak sekali hari perayaan yang tetap dilestarikan dan sejak dari playgroup pun anak-anak diajak untuk mengenali budayanya sendiri. Aktivitas yang mereka ikuti tergantung tema perayaan yang diperingati. Biasanya sekolah akan menyiapkan permainan-permainan yang berhubungan dengan hari besar tersebut sehingga secara tidak langsung anak-anak belajar mengapresiasi kebudayaan sendiri karena sejak kecil sudah diperkenalkan dan diikutkan dalam perayaan. Dan hasilnya ketika anak-anak beranjak besar, mereka mampu meneruskan tradisi adiluhung bangsanya.

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Courtesy : Dwi"][/caption]

Rasanya malu membaca situasi pendidikan usia dini di Hong Kong dan melihat fenomena pendidikan usia dini di negeri sendiri. Di negera maju pendidikan bertujuan mencetak manusia berkepribadian utuh. Sementara di negeri tercinta ini justru menciptakan manusia-manusia ber”nilai”. Memiliki nilai (baca: angka) bagus diartikan sebagai anak cerdas. Mestinya, anak cerdas adalah anak yang memiliki kepribadian utuh.

*Tulisan ini adalah hasil kolaborasi Yswitopr dan Dwi untuk  Weekly photography Challenge Minggu Ke 21 : Kolaborasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline