Lihat ke Halaman Asli

Penyisir Rambut Mak (2)

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita sebelumnya : Penyisir Rambut Mak (1)

_____

Kalau dulu aku selalu telat membayar SPP sekolah berbulan-bulan lamanya, sekarang tidak lagi. Mak selalu datang ke sekolahku dan Didik juga Lilik, sepupuku yang lain, untuk membayarkan SPP kami. Kami juga sekarang bisa merasakan rasanya memiliki uang jajan berlebih sehingga kami sendiri tidak tahu mau dibuat apa lebihannya. Dan yang menyenangkan, celengan plastikku yang bentuknya seperti gentong, isinya mulai penuh.

Dan penampilan Mak sekarang mulai berubah. Dulu, bedak dan lipstik tidak pernah menempel di wajah Mak. Sekarang, wajah Mak mulai penuh dengan goresan kuas-kuas rias yang Mak pelajari dari Rini si pemilik salon di gang sebelah. Baju-baju Mak juga sekarang bagus-bagus, begitu juga dengan baju kami. Dan inilah yang membuat kami tidak lagi malu kalau sedang berkumpul dengan warga desa lainnya ketika hari libur atau ketika Mak mengikuti arisan.

***

“Mak, tolong!!” Lilik berteriak dari dalam kamar dengan suara yang amat kencang. Aku yang sedang mencuci piring setelah makan siang, segera cuci tangan dan berlari ke arah kamar Lilik yang juga merupakan kamarku.

“Ya Allah, Lilik! Kenapa kamu?”

Rasa kaget masih menyerang tetapi lekas kubantu Lilik bangkit dari duduknya yang terlihat pasrah di atas lantai. Kuperhatikan wajah Lilik pucat karena takut dan matanya yang mulai sembab karena menangis. Saat kupegang tangan kanannya, jantungku seolah berhenti. Tangannya kaku, tak bisa ditekuk.

“Lik, tanganmu?” Tanyaku hati-hati. Tangis Lilik semakin keras mendengar pertanyaanku yang sebenarnya belum selesai kalimatnya. Namun, kulihat Lilik yang semakin pucat dan seperti tidak lagi memiliki tenaga walau untuk berjalan, segera kutuntun pelan-pelan dia menuju ke tempat tidur dan membantunya merebahkan diri.

Kulihat buku-buku yang keluar dari tas Lilik dan berserakan di lantai. Sepertinya, Lilik tadi sedang membawa tasnya dan entah apa yang terjadi pada tangannya sehingga membuat tasnya jatuh. Kurapikan buku-bukunya dan kumasukkan kembali ke dalam tas. Tapi tetap saja tidak bisa kuhindari kalau tanganku gemetar dan bibirku kelu. Dan aku terduduk. Menangis pelan supaya tangis Lilik tidak semakin keras.

Ya Allah, apalagi ini? Apa yang terjadi pada Lilik?

***

“Kalau bukan stroke, lalu apa yang terjadi pada anak saya dokter?”

Dokter rumah sakit daerah yang perutnya gembul itu membetulkan letak kaca matanya dan mengamati kembali hasil laboratorium dan catatan kesehatan Lilik. Entah apa saja lembar-lembar putih yang ada di meja dokter itu, aku tidak ingin tahu. Kesimpulan saja tentang sakitnya Lilik, itu yang kami tunggu.

“Maaf Bu, saya tidak bisa menyimpulkan apa-apa untuk sekarang ini. Karena Lilik tidak memiliki riwayat penyakit apapun yang bisa membuat stroke.”

“Lalu, kalau dokter saja tidak bisa menyimpulkan apa-apa, bagaimana dengan kesehatan Lilik nantinya?” Tanyaku khawatir. Aku mulai meragukan kemampuan dokter gembul ini karena pernyataan dia yang membuat nasib kesehatan Lilik tidak jelas.

“Sementara ini, saya beri resep obat untuk memulihkan kembali fungsi syaraf di lengan kanannya. Kalau obat ini habis dan tidak ada perkembangan apa-apa pada saudari Lilik, silahkan kembali lagi.” Dokter gembul itu mulai menuliskan beberapa nama obat dengan tulisan tangan yang sangat jelek sekali. Setelah selesai, diberikan resep itu kepada Mak dan Mak menerima dengan tersenyum lalu segera beranjak dari kursi yang tidak lagi empuk.

Kuperhatikan, seolah tak ada beban yang ditanggung Mak atas Lilik.

***

Dua minggu setelah Lilik diperiksakan ke RSUD Pasuruan, tidak ada perkembangan yang berarti pada kesehatan Lilik. Malah sepertinya kesehatan Lilik semakin menurun. Tangan kanannya masih tidak bisa digerakkan, dan sekarang kaki kirinya mulai sulit digunakan untuk berjalan. Meskipun aku dan Mak sudah menyampaikan kondisi Lilik yang sekarang, dokter gembul itu masih juga belum bisa mengambil kesimpulan apa-apa dan tetap memberikan resep yang sama.

Hari-hari Lilik tidak ada tanpa tangis. Baginya, sudah tidak ada lagi kesempatan untuk melakukan apapun. Hobi menulisnya, cita-citanya untuk kuliah di sastra UNESA, sepertinya sudah dia pupus dengan sengaja karena bagi dia kesehatannya sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Membantunya jalan ketika dia bosan di tempat tidur atau mengambilkan sesuatu yang dia inginkan, hanya itu saja yang bisa aku lakukan. Sedih sudah sangat menusuk dalam dadaku melihat kondisi Lilik yang semakin terseok-seok tak pasti penyebabnya. Meskipun hubungan darah kami hanya sepupu, tapi Lilik bagiku sudah seperti saudara karena dia bisa melengkapi kekekosonganku akan keinginan memiliki saudara kandung.

Sembilan bulan kemudian, Lilik diharuskan untuk opname karena separuh tubuhnya sudah tidak mampu lagi digerakkan. Dan dua belas hari kemudian, Lilik meninggal. Setelah semua dokter pasrah pada kondisi Lilik yang semakin parah.

***

-BERSAMBUNG-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline