Lihat ke Halaman Asli

(Cersama) Saya Tidak Butuh Psikolog

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Impianku? Oh, jelas menjadi orang kaya. Dan aku rasa menjadi impian banyak orang. Siapa yang tidak mau kaya raya? Ingin mainan, tinggal tunjuk. Ingin baju, tinggal bayar. Ingin wisata, tinggal pesan tiket. Wah, kaya itu segalanya.

Saya bukan orang kaya, saya juga bukan orang yang melarat. Hanya saja barang kebutuhan saya, dari semenjak kecil selalu dibatasi oleh orang tua saya. Saya ingin mobil yang agak besar, kata bapak mending yang kecil dulu. Saya ingin sepeda gunung, kata bapak masih ada sepeda berkeranjang milik kaka saya. Saya ingin beli tas gambar batman, katanya tas saya yang lama masih bisa dipakai. Kalau saya ingin baru, bapak selalu marah dan selalu memberikan barang lama milik kakak ke saya. Padahal saya yakin, bapak punya uang untuk membelikan saya barang-barang yang saya inginkan. Sampai pada akhirnya saya tidak ingin apa-apa karena semua pasti dilarang.

Lalu, suatu hari bapak ingin mengganti mobil yang sudah kami pakai selama 11 tahun untuk berdagang nasi pecel Kediri. Kata bapak, daripada sering servis, lebih baik membeli yang baru sehingga nggak perlu sering servis dan keluar duit banyak. Itu omong kosongnya bapak saja. Tapi, akhirnya mobil itu terbeli. Bapak bisa membeli mobil puluhan juta, tapi membelikan saya mainan saja tidak mau?

Sejak itu saya marah kepada bapak.

Dan saya mulai menunjukkan sikap menentang. Menentang untuk patuh. Dan sejak saat itu entah kenapa, tangan saya mulai usil seiring munculnya keinginan untuk berbuat usil juga.

Saya jadi selalu gatal untuk mengambil barang-barang berharga milik orang lain dan menyimpannya di sebuah kardus besar bekas air mineral yang saya sebungnyikan di bawah tempat tidur. Dan saya ingat, barang pertama yang saya ambil adalah kunci mobil baru bapak. Bapak kebingungan mencari kunci seharian sampai akhirnya menunda pergi berjualan. Lalu hari esoknya dia memanggil tukang kunci dan mengganti dengan kunci yang baru. Dan tahukah kalian, saya puas sekali bisa menyimpan kunci mobil bapak dan melihat bapak kebingungan mencari kuncinya. Dan barang kedua yang saya ambil adalah topi milik kakak. Sebenarnya bukan barang baru tapi kakak selalu menolak meminjamkan topinya karena katanya topinya adalah barang berharga dari pacarnya. Halah, anak SMP tau apa tentang pacaran. Dan keesok harinya, kakak wajahnya pucat sekali karena tidak menemukan topinya dimana. Dan saya hanya tersenyum saja.

Sekarang, sasaran saya tidak lagi barang milik penghuni rumah. Barang milik teman-teman di sekolah asyik juga buat disimpan di kardus rahasia. Hayhay, saya mulai dari barang milik Roni, teman sebangku saya yang suka memamerkan kotak pensil bentuk mobil balap miliknya. Lalu merambah ke barang milik teman yang duduk di bangku belakang saya dan ternyata saya bisa menyimpan barang berharga teman beda kelas.

Ini berlanjut sampai saya SMP kelas 3. Dan ketika itulah, kebiasaan menyenangkan saya terusut karena saya kurang hati-hati menyimpan barang yang saya ambil. Tanpa sengaja, sekretaris kelas tahu kalau di saku tas saya tersimpan bolpoin berkepala bunny lucu milik dia. Akhirnya, saya diintrogasi oleh wali kelas dan terbongkarlah aksi saya selama ini.

Ketika wali kelas dan orang tua saya bertanya tentang kebiasaan saya, apa jawaban saya?

"Iseng aja. Senang melihat barang-barang itu terkumpul semua jadi satu di kardus rahasia." Itu jawaban saya sambil tersenyum ringan.

Meskipun sudah ketahuan, entah kenapa saya tidak bisa menghentikan kebiasaan saya. Dulu sempat berhenti, saat saya melihat ibu saya menangis karena malu memiliki anak kleptomania. Tapi, tangan ini tidak bisa dibohongi. Aksi saya tetap berlanjut. Bahkan sampai sekarang ketika saya hampir lulus SMA. Dan saya lebih berhati-hati lagi. Dan kardus rahasia saya yang asalnya hanya satu buah, sekarang sudah memenuhi tempat tidur saya. Menyimpan harta saya, harta karun saya.

Sepertinya, sekencang apapun kancil berlari, pasti suatu saat dia terperosok di lubang. Sama seperti saya.

Teman saya yang masih peduli dengan saya, yang namanya Tono, suatu saat pernah berkata kepada saya tentang pepatah itu. Tapi saya hanya menyangkal.

"Ini bukan hobi, Ton. Tapi ini jiwa saya, kesenangan saya, pemenuhan impian saya, kelegaan saya akan masa lalu. Semuanya."

"Kamu masih bisa berhenti, Hendra. Aku bantu." Ucap Tono ketika saya menjawab seperti itu.

"Caranya?" tanyaku meremehkan.

"Psikolog."

Itu jawaban Tono yang lantang terdengar olehku namun jawaban itu aku hindari sampai sekarang.

"Dan aku sudah membuat janji besok Rabu sepulang kamu kerja. Aku antar kamu besok untuk membuat jadwal terapi."

Saya tahu, Tono memang ingin saya berubah karena dia tidak ingin hal buruk menimpa saya karena penyakit kejiwaan saya. Tapi, Tono tidak bisa mencegah saya dengan mengajak seorang psikolog karena saya menikmatinya. Menikmati menjadi seorang kleptomania.

-END-

***

#Cersama adalah kependekan dari Cerita Bersama, adalah even yang dibuat oleh kami berenam yaitu Saya, Inin Nastain, Vianna moenar, Elhida, Ajeng dan Kayana.

*Cersama hari pertama : (Cersama) Ketika Harga Bungkuh Kopyor Naik di Bulan Puasa

*Cersama hari kedua : (Cersama) Menunggu Kabar dari Pabrik

*Cersama hari ketiga : (Cersama) Purwanti dan Ceritanya

*Cersama hari keempat : (Cersama) Sakit Kakinya Bu Layla

*Cersama hari kelima : (Cersama) Cinta Cantik

***

Klik Cuap ala Mama Arkananta untuk membaca tulisan saya yang lain ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline