Lihat ke Halaman Asli

Sepatu Berbungkus Plastik Bening

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di sudut sebuah kamar berukuran kecil, terduduk seorang anak laki-laki berambut ikal memandangi sebuah brosur sekolah Islam swasta yang berlokasi di kota tempat dia tinggal, yang dia tempel dengan menggunakan selotip bening di dinding yang mulai memudar warnanya. Sekolah lanjutan tingkat pertama yang dia idamkan karena menawarkan seragam dan sepatu gratis serta tanpa harus membayar SPP setiap bulannya. Tampaknya, pemilihan sekolah ini sudah tertanam dengan disengaja sejak dia masih duduk di kelas 4 SD, setelah bertahun-tahun lamanya memahami kondisi keluarganya yang sudah bisa dipastikan tidak akan mampu menanggung kewajiban untuk menyekolahkannya.

Senyum manis terlukis tipis di atas dagunya ketika matanya tertuju pada kalender di seberang dinding. Sebulan sudah dirinya menjadi siswa baru di sekolah Islam tersebut. Rasa senang dan bangga mengumpul dalam benaknya tapi terbentuk secara sederhana hanya dengan alasan bisa melanjutkan sekolah. Ditimang berulang kali sepatu baru yang terbungkus plastik bening yang sedari tadi menemani lamunannya.

Teringat kejadian kemarin pagi di sekolah ketika salah satu gurunya membagikan sepatu gratis untuk siswa baru. Ketika dirinya ikut berdiri antri dengan semangat yang terhimpun bersama teman-teman sekelasnya, terdengar sedikit celotehan dari salah satu teman yang sudah menerima sepatu gratis.

“Sepatu gratis! Sepatu gratis! Siapa mau beli? Aku jual 5000.”

Mendengar kalimat yang menurutnya tidak pantas, dia menoleh ke arah temannya sambil mengamati dengan jelas mengapa temannya berbicara seperti itu. Tak lama kemudian, terdengar kembali celotehan yang menjadi sambungan celotehan awal tadi.

“Apa ini? Sepatu kok nggak ada kardusnya? Masa hanya dibungkus plastik? Kelihatan kalau sepatu murah.”

Anak laki-laki yang memiliki semangat sekolah ini hanya tersenyum. Dipandangi sepatu lusuh bekas milik kakaknya yang terpakai di ujung kakinya. Sudah berulang kali bapaknya memberi lem di sol sepatunya karena sering kali dia tersadung karena sol sepatu yang kerap kali mangap.

Rasa syukur terucap lirih dari ujung bibirnya ketika dia mendapat giliran menerima sepatu gratis. Teringat ibunya yang selalu mengeluh sakit pinggang karena menjadi buruh cuci tetangga. Tak ada lagi beban dalam dirinya untuk menyampaikan keinginan memiliki sepatu baru kepada ibunya seperti tahun-tahun sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline