PENDAHULUAN
Perlindungan dan peningkatan kesejahteraan perempuan dan anak di Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Isu kekerasan, perdagangan orang, akses ekonomi, kesetaraan dan keadilan gender, hambatan tumbuh kembang anak, serta deretan masalah lainnya.
Secara nasional kekerasan pada perempuan dan anak, berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian PPPA tahun 2016 mencatat adanya 7.370 kasus kekerasan perempuan dan anak. 79 persen dari total kasus kekerasan tersebut, korbannya adalah perempuan, dan 58 persen dari jumlah tersebut adalah berusia anak (0-18 tahun).[1] Jenis kekerasan yang dilakukan pada kaum perempuan dan anak tersebut meliputi korban paedofilia, dilacurkan, terlantar, dibunuh, pornografi, sodomi, kekerasan dalam rumah tangga, dan mutilasi.
Secara terpisah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat, hingga tahun 2015 jumlah kasus KDRT sebanyak 11.207. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 2014 yang sempat turun mencapai 9.386. Data yang ada menunjukan rata-rata setiap tahun terjadi peningkatan kasus sebanyak 288 kasus atau 24 kasus/bulan
Dalam konteks kekerasan secara umum, Catatan Tahunan KOMNAS Perempuan 2011-2015 mencatat, bahwa dari sejumlah 321.757 kasus, terdapat 6 jenis kekerasan yang dialami perempuan, yaitu: percobaan perkosaan, pelecehan seksual, pencabulan, perkosaan, melarikan anak orang dan kekerasan seksual. Jenis kekerasan tertinggi adalah perkosaan yaitu 72,15 persen dari total jumlah kekerasan yang dialami.[2] Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016, hasil kerjasama Kemen PPPA dengan Badan Pusat Statistik (BPS).[3], satu dari tiga perempuan usia 15-64 tahun atau sekitar 28 juta orang pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual.
Secara presentase didapat sekitar 18,25 persen pernah mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual oleh pasangannya, 31,74 persen pernah mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual pernah/sedang memiliki pasangan, dan 42,71 persen pernah mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual, belum pernah memiliki pasangan.
Ironisnya sekitar satu dari sepuluh perempuan usia 15-64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Tingginya kasus kekerasan pada perempuan diduga disebabkan karena: a) Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara; b) Masyarakat menanamkan nilai bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun; c) KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri; dan d) Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.[4]
ISU PEREMPUAN DAN ANAK DI SUMATERA UTARA
Di Sumatera Utara, situasinya tidak jauh berbeda dengan situasi secara nasional, Provinsi Sumatera Utara termasuk lima besar catatan tertinggi kekerasan terhadap anak dan perempuan. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinas PPPA Provsu, tahun 2017 tercatat 998 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dimana jumlah perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki (77%:23%). Sumatera Utara berada pada urutan ketiga setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah.[5]
Dan menurut catatan Jaringan Perlindungan Anak (JPA) Sumatera Utara tahun 2017, angka kekerasan terhadap anak meningkat dari tahun 2016. Tahun 2017 tercatat 641 anak korban kekerasan, meningkat hampir 100% dari tahun sebelumnya tercatat 331 kasus. Permasalahan anak tentu bukan hanya soal kekerasan, tetapi situasi kerentanan lainnya juga banyak dihadapi anak-anak di Sumatera Utara, seperti paparan narkoba, pornografi, penelantaran dan eksploitasi ekonomi.
PENTINGNYA BERSINERGI