Lihat ke Halaman Asli

Juli Dwi Susanti

Guru-Dosen-Penulis-Editor-Blogger

Bukan Cerita Sinetron Sungguhan ( 1 )

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Diambil dari : www.dakwatuna.com

Tak pernah terbayang dalam hidupku , mengontrak rumah bulanan sebesar 250 ribu sebulan dengan anak ke-3 yang baru 40 hari kulahirkan. Aku sebelumnya tinggal sementara dirumah mama, sementara suamiku masih mencari pekerjaan yang mapan lagi. Tapi karena kakak perempuan dan adik adikku jaleous / iri  ( aku menikah lebih dulu untuk menghindari ikhtilat ) dan mereka khawatir warisan rumah jatuh ke aku  ( aneh ! Dan gak masuk akal ) .


Anak perempuan itu ketika susah pasti larinya juga ke mama lagi . Begitu pula dengan aku. Menjelang lahiran anak ke -3 aku pulang ke mama, itupun aku sempat disandera rumah sakit selama 2 minggu karena suamiku tak bisa menebus kami dirumah sakit karena stress aku harus caesar . Dan tak ada satupun dari keluarga kami berdua yang mampu membebaskan kami. Padahal kalau mereka mau bisa ! Sementara rumah kami tinggalkan untuk kami jual sebagai modal. Karena ingin membantu biaya pembangunan masjid sertifikat rumah yang sudah lunas kami gadaikan ke Bank BTN  untuk mengambil baja masjid. Tapi begitu krisis moneter 1998 oleh mesjid tidak terbayar dan aku harus menanggung karena menunggak di pembayaran. Parahnya harus diplang merah. Aku kan malu , jadilah aku relakan untuk dijual. Nah menunggu dijual itulah kami mengembara mulai dari ibu mertua sampai ke mamaku.

Kembali ke keluargaku, tiba pada akhirnya belum genap 40 hari melahirkan , mama mengusirku dari rumah karena kakak perempuanku tidak mau kembali ke rumah jika tetap ada aku. Padahal aku tidak memegang uang banyak, kemana aku harus pergi ? Suamiku hanya memegang uang 500 rb itupun pinjaman kawan.
Jadilah tengah malam aku suami dan 3 anak pindah dengan airmata bombay. Seperti adegan sinetron ya allah kenapa mama tega mengorbankan aku ketimbang kakak yang masih bujangan, hanya karena kakak mengancam akan bunuh diri.

Aku jadinya mengontrak 500 meter tidak jauh dari rumah mama. Tapi suamiku yang keadaan ekonominya sedang morat marit tidak mengijinkanku untuk kerumah mama. Kelaki-lakiannya terhina. Terbayang kalau aku ditinggal suamiku dalam keadaan anak 3 kecil kecil karena dia sedang butuh dirangkul malah dimusuhi.
Bingung aku, satu sisi dia suamiku, satu sisi mereka orang tuaku.
Sementara kami hidup dengan serba pas pasan. Yang penting anak-anak makan. Nasi dengan lauk terigu yang ditambahin 1 telor biar ada gizinya, jadi menu kami sehari hari . Untuk susu kami beli susu cair cap enak pengganti Promilnya yang sudah tak mampu terbeli.

Sampai 5 bulan aku belum bisa berbuat apa apa karena sikecil masih menyusui dan anak anak tidak ada yg menjaga. Ayahnya bekerja serabutan apa saja dia lakukan. Sampai pernah mengais cabai dipasar lalu kami bungkus kecil kecil untuk dijual. Tak pernah terbayangkan, seorang kepala Keuangan bisa habis seperti itu.

Semua salah kami yang lalai terlalu lena dengan sanjungan orang ketika kami banyak uang . Tabungan kami habis untuk membantu siapa saja yang membutuhkan. Sperti sinterklas tiada hari tanpa bagi bagi uang. Sampai sertifikat rumah saja kami korbankan. Kami pikir tidak akan ada krismon dan orang beramal banyak pasti ada balasannya. Buat keluarga ,  kami adalah lumbung padi. Namun begitu bangkrut hilang semua seperti debu atau habis manis sepah dibuang . Terkadang ego perempuanku menjerit. Tidak menerima keadaan ini. Bak adegan sinetron semua nyata terjadi . Jangankan teman , tetangga , keluargapun tidak perduli . Melihat keadaan keluarga dan penghasilan yang tidak jelas, pekerjaan yang mulai susah didapat, suamiku mulai gelap mata.Pernah temannya mengajak jualan ayam hitam ke gunung kidul dengan modal 20 ribu dijual 100 untuk sesajen orang yang bersemedi untuk musyrik . Aku yang masih waras melarangnya, lebih baik kami kelaparan ayaaaaah. Walau dengan tangis tertahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline