Lihat ke Halaman Asli

Misye Almitha

Mahasiswa

Campuran Bahasa vs Pemajuan Budaya

Diperbarui: 24 September 2024   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

mediaindonesia.com

Sebelumnya tujuan dari tulisan ini yaitu untuk menanggapi esai dengan judul " Sensasi Indoenglish vs Pemajuan Kebudayaan" karya dari dosen sosiologi UIN Sunan Kalijaga Bapak Bernando J Sujibto.Esai tersebut membahas bagaimana bahasa Indonesia dalam era globalisasi ini mulai berkurang dan dicampur dengan bahan Inggris.

Globalisasi telah menjadi kekuatan dominan yang membentuk dunia modern, menciptakan jaringan interaksi antarnegara yang lebih erat dan membuka akses ke berbagai informasi serta kebudayaan. Salah satu dampak yang paling terlihat adalah berkembangnya budaya populer atau pop culture, yang kini dengan mudah menyebar melintasi batas-batas geografis dan sosial. Dari musik, film,  budaya populer, terutama dari Barat, mendominasi dan memengaruhi hampir semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia.

Salah satu dari adanya budaya populer akibat dari globalisasi adalah fenomena indoenglish. Indoenglih adalah  praktik berbahasa campuran, antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Penggunaan Bahasa indoenglish ini cukup masif di kota-kota besar yang dipengaruhi langsung oleh cara berbahasa artis dan selebritas. Contohnya dalam penulisan menu di cafe atau restoran saat ini seperti "Ayam Goreng" menjadi "Fried Chiken".

Budaya populer seperti fenomena indoenglish saat ini sudah lebih merasuk lebih dalam, membetot ke(tidak)sadaran dengan beragam bentuk sensasinya. Hal tersebut dikarenakan adanya perkembangan teknologi yang semakin canggih seperti adanya platfrom media sosil seperti website, blog, facebook, line dan sebagainya.

Tren Indoenglish perlu  perhatian khusus untuk memastikan bahwa tren ini tidak merusak fondasi budaya dan bahasa yang telah menjadi bagian penting dari identitas nasional. Untuk saat ini sudah banyak perhatian khusus pada tren indoenglish di Indonesia. Seperti yang sudah dilakukan kementrian Pendidikan dan kebudayaan yang menghimbau untuk menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain itu ada dalam karyanya bapak Bernando J Sujibto (pak Bje), yang menyoroti tren ini melalui esainya yang berjudul "Sensasi Indoenglish vs Pemajuan Kebudayaan".  Menurut saya esai ini sangat menarik untuk dibahas.

Dalam esai tersebut, disebutkan bahwa praktik indoenglish dikatakan membentot kesadaran masyarakat dengan penggunaannya yang masif di media sosial. Penggunaan bahasa campuran ini telah menjadi tren yang mendominasi, membuat banyak orang mulai terbiasa dan kehilangan kesadaran kritis tentang pentingnya menjaga keaslian bahasa Indonesia.  Hal ini penting untuk diperhatikan karena, jika dibiarkan tanpa regulasi atau kesadaran, dapat menyebabkan erosi terhadap identitas bahasa dan budaya lokal.

Saya setuju dengan statement tersebut. Menurut David Held dan Henrietta L. Moore,dalam karya mereka "Cultural Globalization," mereka mengeksplorasi bagaimana media sosial dan komunikasi massa berkontribusi pada proses globalisasi budaya. Mereka menekankan bahwa media sosial mempercepat penyebaran ide dan nilai, yang berkontribusi pada perubahan budaya di tingkat global.

Dalam esai tersebut, saya setuju terhadap praktik indoenglish dianalisis sebagai hasil Cative mind. Cative mind adalah pikiran jumud karena perasaan inferior terhadap budaya asing. Perasaan inferior ini disebabkan oleh kondisi Pasca- kolonial yang ditandai dengan dominasi keilmuan dan produk budaya barat. Hal ini yang menjadi salah satu alasan utama mengapa masyarakat merasa kurang "keren" kalau tidak ada campuran bahasa asing. Karena untuk saat ini kemampuan dalam berbahasa inggris selalu dianggap sebagai keunggulan kompetitif di banyak sektor dalam kehidupan. Teknologi dan internet juga berperan besar dalam menyebarkan penggunaan bahasa Inggris.

Tentu istilah Cative Mind masih asing bagi saya. Karena dalam esai ini diperkenalkan istilah tentang syndrome cative mind. Atau Amartya Senn menyebut dengan dialektika kaum terjajah. Atau lebih jelasnya kondisi di mana cara berpikir seseorang atau suatu kelompok sangat dipengaruhi oleh budaya, ideologi, atau pandangan hidup dari kekuatan luar, yang biasanya dari bangsa atau budaya yang lebih dominan.

Dari rivew diatas, saya berpendapat bahwa hal tersebut tidak hanya Cative Mind tetapi juga hibridisasi budaya, di mana elemen lokal dan global bercampur dan menciptakan bentuk budaya baru. Dalam hal ini, penggunaan bahasa Inggris di samping bahasa Indonesia bukan hanya sebagai bentuk peniruan atau subordinasi, tetapi lebih kepada penciptaan identitas baru yang merefleksikan realitas global saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline