Manusia adalah makhluk paling sempurna. Manusia diberikan akal dan hati untuk menentukan hal yang baik dan buruk. Namun, selain itu manusia juga diberikan nafsu. Apabila manusia mampu menggunakan akal dan hatinya secara baik, maka ia akan menjadi manusia yang baik. Demikian halnya sebaliknya, apabila akal dan hati manusia kalah oleh kuasa nafsu, maka ia akan menjadi manusia yang tidak baik.
Bahkan, dalam al-Qur'an secara tegas Allah menyebutkan bahwa manusia memang diciptakaan dengan sebaik-baik ciptaan, serta Allah memberikan kelebihan atas makhluk-makhluk yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam QS at-Thin ayat 4 dan QS al-Isra' ayat 70;
Berhubung manusia adalah makhluk yang sempurna dan diberikan kelebihan di atas makhluk lainnya, terdapat tugas dan tanggungjawab yang harus dilakukan oleh manusia, yaitu tugas manusia sebagai hamba (untuk beribadah) dan sekaligus tugas sebagai khalifah fil ardlatau sebagai pemimpin di muka bumi yang bertanggungjawab menjaga kelestarian, ketenteraman, dan kedamaian di bumi. Sejalan dengan hal tersebut, atas tugas dan tanggungjawab yang diberikan manusia juga kelak akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang telah ia lakukan terdapat tugas dan tanggungjawabnya tersebut.
Manusia; Hayawan Natiq
Dalam perspektif yang lain, manusia juga disebut sebagai hewan yang berbicara atau berbahasa (Hayawan al-Naathiq). Sebutan ini menunjukkan dua hal. Pertama, manusia adalah makhluk jasmaniah (sifik) yang sama dengan makhluk lainnya di muka bumi ini, yaitu manusia memiliki mata, tangan, kaki, telinga, organ dalam, dan lain sebagainya. Kedua, manusia adalah makhluk berbahasa yang dapat mengartikulasikan perasaan sehingga dapat terkespresi dengan baik. Sifat berbahasa inilah yang membedakan manusia dengan makhluk (hewan) lain. Sebab bahasa adalah produk kebudayaan yang terbentuk dari upaya-upaya berfikir dan berkarya.
Manusia adalah makhluk yang berbeda dengan hewan-hewan lainnya. Sebagai sebuah gambaran, ada beberapa fakta tentang sifat-sifat hewan yang patut untuk dijadikan rujukan.
Pertama, keledai adalah hewan yang selama ini dikenal sebagai hewan yang bodoh dan keras kepala. Stigma ini pertama kali muncul pada era Yunani Kuno, yaitu dalam tulisan Homer dan Aesop. Bahkan, saking populernya disebut sebagai hewan yang bodoh, di Indonesia juga terdapat sebuah pepatah yang menebutkan bahwa "hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali". Pepatah ini untuk menunjukkan bahwa hanya orang bodoh seperti keledai-lah yang akan melakukan kesalahan yang sama berkali-kali.
Kedua, alkisah seorang pemuda sedang melewati sekumpulan gajah dan ia melihat sebuah pemandangan yang tidak wajar. Gajah-gajah tersebut hanya diikat dengan sebuah tali kecil. Tidak ada rantai besi maupun kandang besi yang menjaga gajah-gajah tersebut. Tetapi tidak ada satupun gajah yang mencoba melepaskan diri dari tali yang hanya berukuran kecil.
Karena penasaran, pemuda tersebut menemui penjaga gajah untuk menuntaskan rasa penasarannya itu. Penjaga gajah lalu menjelaskan bahwa ketika gajah-gajah tersebut masih kecil, mereka diikat dengan tali kecil tersebut. Berhubung ukuran gajah yang masih kecil, gajah-gajah itu masih bisa ditahan dengan tali ukuran kecil. Hal itu terjadi secara terus menerus, sehingga ketika gajah tumbuh dewasa dan besar, mereka masih beranggapan bahwa tali-tali tersebut masih bisa menahannya.
Ketiga, harimau adalah hewan yang dikenal sebagai hewan yang memiliki ingatan kuat, bahkan ingatannya bisa bertahan bertahun-tahun. Dikisahkan seorang pemburu suatu ketika melakukan perburuan di hutan kawasan Afrika. Pada saat perburuan tersebut, ia berjumpa dengan harimau. Karena merasa terancam, ia menembak harimau besar di depan anak-anak harimau. Selang 15 tahun, pemburu tersebut kembali ke hutan kawasan Afrika untuk melakukan kegiatan wisata. Dalam kegiatan wisata tersebut tiba-tiba ia diserang oleh seekor harimau. Mobil yang ia gunakan dikejar-kejar harimau.
Dari ketiga ulasan tentang beberapa hewan di atas, dapat disimpulkan bahwa keledai adalah hewan yang bodoh, hajah adalah hewan yang perasa, dan harimau adalah hewan yang pendendam. Untuk itulah, manusia sebagai hewan yang berbahasa (berfikir) harus bisa menekan sifat-sifat hewan dalam diri manusia.