Saldo menipis seperti hujan yang enggan jatuh,
di ujung bulan, angin membawa desah gaji yang hampir lenyap.
Aku menghitung tagihan seperti menghitung detak jantung,
satu-satu, mengalir pelan, takut terlupa.
Di meja makan, piring kosong bicara tentang penghematan,
"Masaklah," katanya,
sebab keinginan hanya angin yang berlalu,
dan kebutuhan adalah akar yang menahan hidup.
Tabungan, oh tabungan,
kau kusembunyikan di sudut palung terdalam,
sesekali kureguk,
lalu kusisihkan kembali, separuh takut, separuh harap.
Aku berjalan di sela hari-hari,
mencari remah pendapatan tambahan di antara sela waktu.
Freelance, pekerjaan paruh waktu,
atau hanya mimpi akan pekerjaan dengan gaji lebih besar.
Aku tahu, utang seperti ombak,
sekali menghempas, sulit surut.
Aku menatapnya dari kejauhan,
berusaha menjauh, meski kadang langkah goyah.
Tapi aku percaya,
bulan ini adalah pelajaran yang tersimpan dalam kantong kecil,
bulan depan adalah jawaban,
tempat aku menyusun kembali mimpi-mimpi sederhana,
agar hidup tetap berpijak,
walau saldo hanya angka kecil yang menunggu terisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H