Hampir setiap hari, iklan pinjaman online (pinjol) muncul di berbagai platform, menawarkan kemudahan meminjam uang secara cepat, praktis, dan tanpa ribet.
Namun, di balik kemudahan tersebut, sering kali ada cerita pahit tentang utang yang menumpuk, kehidupan yang terganggu, hingga ancaman dari pihak penagih.
Jika pinjol benar-benar semudah itu, mengapa banyak orang mengeluh? Lebih jauh lagi, apakah fenomena ini bisa menjadi bom waktu bagi perekonomian Indonesia?
Tingginya Popularitas Pinjaman Online
Dalam beberapa tahun terakhir, pinjol menjadi solusi cepat untuk berbagai kebutuhan.
Terutama sejak pandemi COVID-19, ketika banyak orang kehilangan pekerjaan atau mengalami kesulitan finansial, pinjol menjadi pilihan utama untuk memenuhi kebutuhan mendesak.
Menurut data, tingkat kredit macet pinjol di Indonesia berada di angka 2-3%, yang masih dianggap stabil. Namun, stabilitas ini belum tentu menjamin keamanan jangka panjang.
Ada kekhawatiran bahwa tekanan ekonomi, seperti ancaman PHK, inflasi, dan kenaikan biaya hidup, dapat meningkatkan risiko gagal bayar di masa depan.
Pulau Jawa sendiri mencatatkan permintaan pinjol tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan daerah lain di Indonesia. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menjadi pusat aktivitas pinjol.
Banyak dari pengguna ini adalah generasi muda, terutama Gen Z, yang cenderung tergoda oleh gaya hidup modern.
Obsesi Konsumtif: Dulu Rumah, Sekarang Gaya Hidup
Untuk memahami risiko pinjol, mari kita kilas balik ke krisis finansial 2008 di Amerika Serikat. Saat itu, obsesi masyarakat adalah kepemilikan rumah, yang disebut sebagai "American Dream."