Perusahaan tekstil raksasa Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi dinyatakan pailit setelah menghadapi tekanan finansial yang berat akibat utang yang mencapai Rp 24 triliun.
Dulu dikenal sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang mengekspor produk berkualitas tinggi ke berbagai negara, kini Sritex mengalami krisis finansial yang berujung kebangkrutan.
Apa yang sebenarnya terjadi, dan apa dampak dari kejatuhan perusahaan ini?
Kronologi Kejatuhan Sritex: Utang Besar dan Pandemi yang Tak Terduga
Laba Sritex di Masa Jaya (2017 - 2020)
Sebelum menghadapi krisis, Sritex sebenarnya berada dalam masa keemasan. Laba perusahaan ini terus meningkat dari tahun ke tahun, menunjukkan bahwa bisnis mereka sedang tumbuh pesat.
Berikut adalah laba bersih yang dicatatkan Sritex dalam beberapa tahun sebelum krisis:
- 2017: Rp 600 miliar
- 2018: Rp 800 miliar
- 2019: Rp 1,2 triliun
- 2020: Rp 1,3 triliun
Dengan keuntungan yang stabil ini, Sritex kemudian memutuskan untuk memperluas bisnisnya dengan berinvestasi dalam skala besar.
Perusahaan mengambil utang yang cukup besar untuk membeli mesin-mesin modern yang nilainya mencapai triliunan rupiah, dengan tujuan meningkatkan kapasitas produksi dan efisiensi.
Pada masa itu, manajemen perusahaan meyakini bahwa ekspansi ini akan memperkuat posisi mereka di pasar global.
Utang Jumbo untuk Ekspansi dan Kejutan Pandemi COVID-19
Keputusan untuk mengambil utang dalam jumlah besar ini mungkin tampak logis saat itu.