Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang diumumkan pemerintah baru-baru ini telah menimbulkan banyak perdebatan di kalangan masyarakat dan para pengamat ekonomi.
Meski angka kenaikan tersebut terlihat hanya 1%, kenyataannya dampaknya jauh lebih signifikan.
Secara matematis, kenaikan tersebut setara dengan kenaikan sebesar 9% jika dihitung dari harga dasar sebelum PPN.
Ini artinya, harga barang yang semula seolah hanya naik sedikit, pada kenyataannya berdampak cukup besar bagi pengeluaran masyarakat, terutama di saat daya beli sedang menurun drastis.
Melihat kondisi ekonomi global dan domestik yang sedang tidak stabil, keputusan ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai kebijakan fiskal pemerintah.
Apakah kebijakan ini benar-benar diperlukan saat ini? Apakah ada alternatif lain yang lebih bijak?
Dampak Kenaikan PPN: Jangan Remehkan 1%
Salah satu argumen utama yang sering diajukan oleh pihak pemerintah adalah bahwa kenaikan PPN dari 11% ke 12% hanya sebesar 1%, yang dianggap kecil dan tidak akan memberikan dampak besar.
Namun, ini adalah salah kaprah dalam memahami angka kenaikan pajak. Mari kita analogikan kenaikan ini dengan harga barang.
Misalkan harga barang sebelum dikenai PPN adalah Rp100. Dengan tarif PPN 11%, total harga yang harus dibayar konsumen menjadi Rp111 (Rp100 + Rp11). Namun, dengan kenaikan PPN menjadi 12%, harga barang yang sama menjadi Rp112.
Pada pandangan pertama, tampak bahwa harga hanya naik Rp1, atau 1%.