Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu, sering kali kita melihat fenomena menarik: konser tetap ramai, peluncuran ponsel terbaru seperti iPhone masih disambut dengan antusias oleh konsumen, dan produk edisi terbatas seperti koleksi pakaian dan mainan mewah tetap diperebutkan.
Ini membuat sebagian orang berpikir bahwa ekonomi sedang baik-baik saja. Padahal, di balik semua aktivitas ekonomi tersebut, banyak indikator ekonomi yang justru menunjukkan pelemahan.
Jadi, apakah konsumsi barang-barang mewah terjangkau dapat dianggap sebagai penanda ekonomi yang sehat?
Fenomena ini sebenarnya dapat dijelaskan oleh sebuah teori finansial yang disebut Lipstick Index, yang menyatakan bahwa konsumsi barang-barang kecil yang dianggap sebagai "kemewahan terjangkau" justru meningkat ketika ekonomi sedang lesu.
Apa Itu Lipstick Index?
Lipstick Index adalah sebuah teori yang diperkenalkan oleh Leonard Lauder, pewaris perusahaan kosmetik Estee Lauder, pada tahun 2001.
Teori ini menyatakan bahwa ketika ekonomi sedang dalam masa resesi, penjualan barang-barang yang dianggap sebagai "kemewahan terjangkau" seperti lipstik dan parfum akan meningkat.
Lauder memperhatikan fenomena ini saat Amerika Serikat sedang menghadapi resesi di awal tahun 2000-an, namun penjualan lipstik mereka justru mengalami lonjakan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satu penjelasannya adalah ketika ekonomi sedang buruk dan konsumen tidak lagi mampu membeli barang-barang mewah besar seperti mobil atau rumah, mereka beralih ke pembelian barang yang lebih kecil dan lebih terjangkau, tetapi tetap memberikan kepuasan psikologis.
Dalam konteks ini, lipstik menjadi simbol dari affordable luxury---sebuah cara bagi konsumen untuk tetap merasa dimanjakan di tengah kesulitan ekonomi.
Lipstick Index dalam Konteks Sejarah dan Ekonomi
Lipstick Index bukan hanya sebuah konsep teoritis; fenomena ini telah terbukti di berbagai situasi ekonomi.