Dalam budaya banyak negara, termasuk Indonesia, anak sering dianggap sebagai investasi hari tua.
Orang tua berharap bahwa dengan membesarkan dan mendidik anak-anak mereka, kelak anak-anak tersebut akan merawat mereka di masa tua.
Namun, pandangan ini sebenarnya dapat menimbulkan beban yang tidak perlu pada anak-anak dan mengarah pada fenomena yang disebut "generasi sandwich."
Fenomena ini terjadi ketika generasi tengah---biasanya mereka yang berusia antara 30 hingga 50 tahun---harus menanggung beban finansial untuk merawat anak-anak mereka sendiri sekaligus mendukung orang tua mereka yang sudah lanjut usia.
Kondisi ini bukan hanya menciptakan tekanan ekonomi, tetapi juga tekanan emosional yang dapat mengganggu kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.
Mengapa Anak Bukan Investasi Hari Tua?
Menganggap anak sebagai investasi hari tua adalah konsep yang bermasalah. Pertama, ini membebani anak dengan harapan dan tanggung jawab yang seharusnya tidak menjadi beban mereka.
Anak-anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang mandiri tanpa tekanan untuk mengembalikan investasi orangtua mereka.
Selain itu, pandangan ini sering kali mengabaikan kenyataan bahwa kondisi finansial anak-anak di masa depan mungkin tidak selalu stabil atau mencukupi untuk mendukung orangtua mereka.
Kedua, mengandalkan anak sebagai sumber pendapatan atau dukungan di masa tua bisa menjadi sumber ketidakpastian.
Dalam dunia yang semakin kompleks dengan tantangan ekonomi yang sulit diprediksi, tidak ada jaminan bahwa anak-anak akan mampu atau mau mendukung orangtua mereka secara finansial. Ini dapat menimbulkan konflik dan kekecewaan di kemudian hari.