Sepuluh Ribu Langkah
Setiap pagi, aku mengukur waktu
dengan langkah-langkah kecil,
sepuluh ribu kata yang kutulis di atas aspal.
Jalan setapak menjadi puisi
yang tak pernah selesai,
mengurai nafas, menjalin detak.
Di sudut-sudut kota, tubuhku
berdialog dengan bayang-bayang pohon,
bercakap-cakap dengan udara yang mengalir
seperti percakapan lama
antara aku dan tubuhku sendiri.
Seribu langkah pertama,
tubuh menggerutu,
masih merindukan ranjang dan mimpi-mimpi pendek.
Tapi setelah tiga ribu,
dunia mulai terbuka,
seperti buku yang baru dibaca,
halaman demi halaman,
tanpa jeda.
Langkah keenam ribu,
aku sudah tak lagi menghitung.
Tubuhku jadi angin,
melintasi trotoar dan gang-gang sempit,
melipat jarak dengan ringan,
seperti kata-kata yang menari di atas kertas.
Sepuluh ribu langkah,
akhirnya aku sampai
pada pagi yang baru.
Tubuhku menjadi puisi,
mencatat cerita keseharian
dalam ritme yang konsisten,
mengucap syukur dalam setiap gerak,
dan di sana, aku menemukan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H