Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan kompetitif, kita sering kali terjebak dalam jaringan ekspektasi sosial yang mengatur langkah-langkah kita, terutama dalam hal pencapaian-pencapaian tertentu pada usia-usia tertentu.
Benjamin Franklin, seorang tokoh sejarah yang bijaksana, pernah menyampaikan sebuah quote yang menggambarkan paradoks di mana seseorang bisa "mati" di usia 25 tahun, namun baru "dikuburkan" di usia 75 tahun.
Apa makna yang terkandung dalam kutipan tersebut?
Ekspektasi masyarakat terhadap pencapaian-pencapaian tertentu pada usia-usia tertentu seringkali memaksa individu untuk mengikuti standar yang ditetapkan.
Mulai dari lulus kuliah pada usia 22 tahun, mapan dalam karier pada usia 25 tahun, menikah pada usia 27 tahun, hingga memiliki rumah pada usia tertentu, seringkali menjadi tolok ukur keberhasilan dalam hidup.
Namun, adanya ekspektasi ini kadang membuat seseorang merasa tertekan ketika tidak mampu mencapainya sesuai dengan "jadwal" yang ditentukan.
Dampak Tekanan Ekspektasi Sosial
Tekanan dari ekspektasi sosial tidak bisa dianggap enteng. Bagi sebagian orang, ekspektasi ini dapat menjadi pemicu stres, kecemasan, bahkan depresi.
Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan oleh masyarakat, mereka cenderung merasa tidak berharga atau gagal.
Bayangkan seorang mahasiswa yang belum lulus kuliah pada usia 22 tahun, sementara teman-temannya sudah mulai mendapatkan pekerjaan yang mapan.
Atau seorang profesional yang belum menemukan pasangan hidup pada usia 30 tahun, sementara lingkungannya sudah penuh dengan perayaan pernikahan dan keluarga kecil. Semua itu menimbulkan rasa tidak adekuat dan tertekan.