Bulan Ramadan, bulan penuh berkah dan rahmat, tiba lagi. Bagi umat Muslim di seluruh dunia, bulan ini adalah momen yang dinantikan dengan penuh kegembiraan dan harapan.
Di Indonesia, tradisi Ramadan membawa nuansa tersendiri, terutama di pedesaan, di mana kebersamaan dan solidaritas antar sesama muslim terasa begitu kuat.
Salah satu momen yang sangat khas dan meriah adalah saat sahur, di mana para pemuda desa dengan semangatnya membangunkan warga untuk menunaikan ibadah sahur.
"Sahur, sahur... sahur..." terdengar suara riuh rendah pemuda-pemuda desa yang bergumul dengan rindunya untuk membangunkan orang sahur.
Suara itu membawa kenangan manis tentang masa kecil di desa, di mana momen membangunkan sahur menjadi begitu meriah.
Dulu, saat kecil, saya bahkan membuat beduk dari sisa karung semen untuk membangunkan sahur, sementara yang lain membawa kentongan dari bambu.
Bulan Ramadan di desa bukan hanya tentang puasa dan pahala, tapi juga tentang tradisi khas yang menghangatkan hati.
Membangunkan sahur bukanlah monopoli desa saya. Di seluruh Indonesia, tradisi ini turut menjadi bagian dari budaya Ramadan.
Bagi sebagian orang, teriakan "sahur-sahur" menjadi ciri khas yang sangat dinantikan saat Ramadan tiba. Namun, tidak bisa dipungkiri, ada juga yang merasa terganggu dengan teriakan dan tetabuhan yang terlalu berlebihan.
Budaya membangunkan sahur tidak hanya ditemui di Indonesia, namun juga ada di negara-negara Arab atau Timur Tengah. Meskipun, tentu saja dengan nuansa yang berbeda.