Lihat ke Halaman Asli

Kapan Indonesia Bebas dari Bahan Bakar Fosil?

Diperbarui: 2 Agustus 2016   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pollution is not solution. Sumber: Greenpeace

Pertengahan Mei 2016 lalu, para aktivis lingkungan bersama lebih dari 3000 masyarakat penentang energi kotor melakukan aksi long march #BreakFree di depan Kedutaan Besar Jepang dan Istana Negara di Jakarta. Mereka menuntut pengalihan bahan bakar fosil menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Setelah tiga bulan berselang, bagaimana tindakan pemerintah atas desakan rakyat itu?

Aksi yang dipelopori oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Greenpeace, dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) itu mendesak pemerintah dan publik untuk mengambil peran dalam mengatasi krisis iklim yang menjerat bumi. Kedutaan Besar Jepang dipilih karena Jepang merupakan investor terbesar dalam ekspansi pengolahan batu bara di Indonesia.

Seperti diketahui, telah banyak masyarakat yang terkena dampak buruk oleh aktivitas pertambangan dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan dasar batu bara. ''Ada persoalan dari hulu ke hilir pada industri batu bara yang memiliki resiko terhadap manusia di sekitarnya,'' ungkap Hendrik Siregar, Koordinator Jatam dalam karnaval iklim itu.

Khalisah Khalid, aktivis Walhi juga menyebutkan industri pertambangan batu bara memiliki daya rusak yang begitu besar. Tidak hanya terbatas pada kerusakan lingkungan, melainkan juga kerusakan sosial dan ekonomi masyarakat.

Nelayan tradisional adalah kelompok masyarakat yang terkena dampak paling serius dari keberadaan PLTU. Di Indramayu misalnya, selain menurunkan produktivitas hasil tangkapan laut, para nelayan di sekitar PLTU juga harus bersaing dengan tongkang batu bara, yang bahkan setiap saat sering mengalami kebakaran.

Para petani pun merasakan dampak yang sama. Produktivitas hasil pertanian dan perkebunan masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU di Indramayu dilaporkan mengalami penurunan terus menerus setiap tahunnya.

Hal tersebut adalah dampak yang memang mutlak terjadi. Karena pembakaran batu bara menghasilkan gas buang yang berbahaya bagi lingkungan, seperti nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), merkuri, dan partikulat matter. Semua senyawa tersebut sangat berbahaya bagi keberlangungan hidup manusia, hewan, dan tanaman pangan.

Hasil penelitian Greenpeace bekerjasama dengan Harvard University melaporkan terdapat 6500 angka kematian dini setiap tahunnya akibat polusi yang dihasilkan dari PLTU yang ada saat ini di Indonesia. Entah akan menjadi berapa angka kematian yang terjadi jika ekspansi PLTU terus menerus dilakukan.

Ancaman 35 Ribu Megawatt
Kondisi ini semakin menimbulkan kekhawatiran dengan rencana pemerintah yang akan membangun PLTU untuk memenuhi kebutuhan listrik 35 ribu Megawatt (MW). Rencana besar itu memang menuai banyak kontroversi di republik ini. Bukan hanya menyangkut perkara dampak lingkungan yang akan ditimbulkan, melainkan juga proses pembangunan yang dinilai tidak realistis dan terlalu ambisius.

Padahal Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP 21) di Paris Desember 2015 silam berjanji akan menurunkan emisi karbon untuk menekan dampak perubahan iklim. Dan Indonesia dinilai menjadi negara yang mampu mempertahankan posisi sebagai low carbon emission country.

Desakan masyarakat ini memang cukup berdasar. Pasalnya potensi energi baru dan terbarukan di jamrud katulistiwa masih sangat melimpah. ''Jangan sampai proyek pembangunan 35 ribu megawatt justru menyengsarakan masyarakat nantinya,'' ujar Hindun Mulaika, juru kampanye Greenpeace.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline