Lihat ke Halaman Asli

Kasus Obesitas Remaja dan Anak Meningkat, Kebijakan Regulasi Ultra-Processed Food Perlu Peningkatan?

Diperbarui: 15 Desember 2024   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ultra-Proccessed Food (Photo by Igor Ovsyannykov)

Kita sering melihat camilan seperti biskuit manis, susu dan minuman berperisa, pizza, dan burger menjadi favorit anak-anak dan remaja. Sayangnya, kebiasaan mengonsumsi makanan ultra-processed food (UPF) ini dapat membawa dampak kesehatan serius, termasuk obesitas. Menurut data BPJS, total pembiayaan kasus efek obesitas seperti Hipertensi, Diabetes Melitus, Stroke, Gagal ginjal dan Jantung melesat hingga di angka 174,1 T selama periode 2014-2023.

Data dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas di kalangan remaja Indonesia terus meningkat. Berdasarkan analisis UNICEF, sekitar 14,8% remaja berusia 13-18 tahun di Indonesia mengalami obesitas pada tahun 2023.

UPF adalah makanan yang diproses secara intensif dengan penambahan bahan seperti pengawet, perasa buatan, atau pemanis. Contoh UPF meliputi makanan ringan kemasan, minuman bersoda, hingga makanan cepat saji.

Studi oleh Crimarco di tahun 2022 menunjukkan bahwa konsumsi UPF tinggi berkontribusi pada tingginya asupan energi yang sulit dibakar, sehingga memicu obesitas.

Peningkatan konsumsi UPF disebabkan banyak faktor. Diantaranya, semakin mudahnya akesibilitas, pengaruh media dan iklan, berubahnya gaya hidup yang berpengaruh pada pola makan, dan faktor sosial ekonomi.

Laporan Riskesdas mencatat peningkatan prevalensi konsumsi minuman berpemanis, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Tren ini sejalan dengan peningkatan angka obesitas pada kelompok usia tersebut.

Menurut laporan Asosiasi Industri Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), sektor makanan olahan, termasuk UPF, mengalami pertumbuhan di Indoensia dengan rata-rata 8-10% per tahun dalam dekade terakhir. Hal ini didorong oleh peningkatan daya beli masyarakat perkotaan dan kemudahan akses terhadap makanan kemasan.

Penjualan minuman berpemanis di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data, konsumsi minuman manis kemasan di Indonesia menempati posisi ketiga tertinggi di ASEAN, setelah Thailand dan Maldives. Konsumsi ini tercatat mencapai 20,23 liter per orang per tahun. Salah satu kategori yang paling meningkat adalah air teh kemasan, yang konsumsi per tahunnya melonjak dari 250 juta liter pada 2011 menjadi sekitar 400 juta liter pada 2014. Dalam dua dekade terakhir, konsumsi minuman berpemanis di Indonesia meningkat hingga 15 kali lipat.

Di Indonesia, belum ada peraturan yang secara khusus mengatur makanan ultra-olahan (UPF) secara terpisah, Saat ini peraturan yang mengatur regulasi UPF di Indonesia masih dalam tahap pengembangan dan pembahasan. Ada pun kebijakan dan regulasi terkait UPF hanya sebatas lingkup pengawasan makanan olahan secara umum, termasuk pengaturan terhadap kualitas, keamanan, dan informasi produk makanan saja.

Negara kita butuh penanganan cepat terkait kebijakan regulasi UPF. Beberapa negara telah berhasil mengurangi konsumsi UPF melalui kebijakan inovatif, yang mungkin bisa diterapkan di Indonesia, di antaranya di Negara Chile yang memberikan label peringatan pada makanan tinggi gula, garam, dan lemak sejak tahun 2016, Negara Perancis yang menyertakan keterangan Nutri-score sejak tahun 2017, Inggris yang memberlakukan pajak pada minuman manis dan pembatasan iklan makanan tinggi lemak, gula dan garam sebelum pukul 21:00 malam. Berdasarkan hasil data, Chile berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 23,7% dan Inggris berhasil menurunkan kadar gula dalam minuman hingga 28.8% dan di Perancis 89% konsumen memahami kualitas dan Nutrisi Produk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline