Lihat ke Halaman Asli

Jika Perguruan Tinggi Hanya Menjadi Stigma

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14179083001150097070

Bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi pasti akan menjadi impian bagi semua orang, terutama bagi orang tua dan anak, pendidikan yang ditempuh sang anak seakan menjadi barometer kesuksesan bagi orang tua dalam mendidik anaknya. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh sang anak maka semakin tinggi pula image sukses yang disandangkan oleh masyarakat kepada orang tua.

Selama ini bagi orang tua dan anak perguruan tinggi menjadi salah satu tempat harapan terbesar dalam meningkatkan kualitas hidup, perguruan tinggi dianggap sebagai alat yang paling dominan dalam menciptakan kehidupan yang layak dan bahagia.

Dalam kehidupan masyarakat, kesuksesan hidup seseorang hanya diukur dengan pekerjaan yang mapan dan gaji yang lebih dari kata cukup dan untuk memperoleh keduanya tersebut tidak lain dan tidak bukan hanyalah dengan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Ini merupakan interpretasi yang salah oleh masyarakat dalam menilai kesuksesan dan kebahagiaan, karena pada hakikatnya kebahagiaan itu tidak hanya diukur dari pekerjaan dan gaji yang besar tetapi juga dari ketenangan, keihlasan dan rasa syukur terhadap kehidupan yang dijalani.

Mungkin image/barometer kesuksesan dari masyarakat itulah yang kemudian membuat orang tua rela melakukan segala hal, termasuk melepaskan sebagian bahkan seluruh kesenangan demi untuk mewujudkan impian sang anak menyelesailan pendidikan di pergruan tinggi yang di inginkan. Menjual semua barang berharga bahkan meminjam uang untuk membiayai biaya pendidikan sang anakpun akan dilakukan. Bahkan yang lebih memperihatinkan lagi sampai ada orang tua yang rela melakukan cara-cara yang hina (baca: menyuap) hanya agar sang anak bisa masuk dalam perguruan tinggi yang di inginkan.

Sekejam itukah lembaga pendidikan kita saat ini sampai membuat orang tua tidak malu berbuat hina hanya demi pendidikan, ataukah memang karena stigma masyarakat yang kemudian membuat orang tua terpaksa untuk berbuat demikian. Tentu kita mempunyai jawaban yang berbeda untuk menyikapi hal semacam itu.

Penulis:

Misbahul Munir

Alumnus Uin Malang 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline