Kembali generasi intelektual sebagai generasi pemikir bangsa dihadapkan oleh siklus politik dimana seluruh rakyat Indonesia harus memenuhi haknya sebagai warga Negara untuk memilih pemimpinnya. Segenap rakyat Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit untuk mencerna persoalan masa depan bangsa, yang bergantung pada pemimpinnya. Persepsi media telah memecah masyarakat menjadi dua kubu karena pada tahun 2014 ini calon presiden terpilih hanya dua kandidat,yakni Prabowo Subianto & Jokowi Widodo.
Image Nasionalisme yang di usung kedua kubu membuahkan semangat baru gerakan - gerakan masyarakat yang penuh kemajemukan idealisme dan memisahkannya dalam kasta – kasta sosialisme. Berbagai macam kekuatan politik mencuat ke permukaan publik mengatasnamakan koalisi partai, ormas dan seluruh elemen masyarakat.
Media sebagai pembentuk persepsi publik berperan aktif dalam pembetukan image calon presiden mendapatkan banyak hujatan dari masyarakat dewasa ini karena simpang siurnya informasi mengenai isu miring yang melatarbelakangi track record dua kandidat calon presiden tersebut. Mulai dari isu HAM yang menjadi catatan hitam calon presiden nomer urut satu Prabowo Subianto tentang keterkaitannya pada penculikan aktivis pada era reformasi orde baru 1998 yang hingga kini belum jelas keberadaannya, hingga Isu SARA china dan PKI yang di lekatkan pada calon presiden nomer urut dua Jokowi Widodo hingga sempat memicu amarah pendukungnya dan memboikot stasiun Tv One beberapa hari lalu.
Jelas sekali bahwasanya kita sedang di giring pada tahun 60 –an dimana masyarakat tengah panik dengan pergulatan kekuasaan antara militer dan PKI pasca uzurnya IR. Sukarno sebagai presiden republik Indonesia yang pertama.
Media sebagai pembentuk persepsi publik kehilangan perannya sebagai kontrol sosial di masyarakat. Masyarakat beranggapan baik media cetak, televisi, radio dan internet hanya media bayaran yang menadah hasrat calon presiden dan meraup keuntungan sebesar – besarnya dari hasil kampanye.
Pembodohan publik semacam ini jelas mencitrakan bahwasanya media tidak perduli nasib rakyat yang terprovokasi berita – berita labilnya politik, sehingga memicu konflik horizontal dan vertikal antar masyarakat. Menaggapi situasi seperti ini patutnya seluruh media perlu melakukan koreksi,introfeksi dan melakukan pembenahan dari segi kualitas dan kuantitas berita, tidak hanya berpihak pada kepentingan kampanye melainkan factual, aktual, dan netral sehingga stabilitas emosional masyarakat dapat terkendali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H