Menjelang tahapan pencalonan Pemilihan Umum 2024 dimulai, isu uang mahar menyeruak. Uang mahar menjadi syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dipinang partai menjadi calon. Pemberian uang mahar itu tentu berdampak bagi demokrasi dan proses penyelenggaraan negara setelah para kandidat terpilih. Politik transaksional (mahar politik) diartikan sebagai pemberian janji tertentu dalam rangka mempengaruhi pemilih.
Namun, dari banyaknya definisi yang ada, Politik transaksional merupakan istilah orang Indonesia untuk menerangkan semua jenis praktik dan perilaku korupsi dalam pemilu mulai dari korupsi politik, membeli suara (vote buying) hingga kegiatan haram.
Praktik mahar politik dapat dipahami sebagai transaksi di bawah tangan yang melibatkan pemberian sejumlah dana dari calon pejabat tertentu untuk jabatan tertentu dalam Pemilu partai politik sebagai kendaraan politiknya.
Transaksi ini dengan motif apapun berpotensi pada terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana jika melebihi batasan nominal minimal Rp. 2.500.000.000,00 sebagaimana tercantum dalam Pasal 327 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Larangan soal mahar ini diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
"Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Lalu apa sanksi untuk parpol penerima mahar. Diatur dalam Pasal yang sama. Pasal 47 ayat (2) UU 10 Tahun 2016 menyebutkan "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Selain sanksi administratif, calon kepala daerah yang memberi dan oknum di partai politik yang menerima mahar politik juga bisa terancam terkena sanksi pidana.
Hal ini diatur dalam Pasal 187b dan 187c UU Pilkada. Yakni pidana penjara 2 hingga 5 tahun bagi pemberi imbalan dan 3 hingga 6 tahun bagi penerima imbalan serta denda Rp. 300.000.000,00 hingga Rp. 1.000.000.000,00.
Terdapat berbagai permasalahan berkaitan dengan mahar politik. Pertama, mahar politik seakan menjadi hal yang lumrah. Mahar politik dianggap sebagai ongkos perahu yang dalihnya akan dijadikan sebagai dana pembiayaan untuk menjalankan roda kendaraan partai. Perahu tidak dapat berjalan dan untuk calon kepala daerah bila mahar politik tidak dibayarkan.
Namun, ongkos perahu banyak yang terlalu mahal hingga di luar batas kewajaran. Mahar politik bermain dalam pencalonan kepala daerah. Besarnya syarat dukungan ini menjadikan "harga" setiap kursi menjadi mahal.
Tentu memerlukan modal yang sangat banyak untuk mendapatkan dukungan partai. Walaupun dalam beberapa kasus justru diberikan secara cuma-cuma. Akibatnya, selain politik menjadi berbiaya tinggi, proses pemilihan kepala daerah hanya akan bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal uang mumpuni.