Kontestasi politik ibukota akan semakin memanas dalam beberapa bulan kedepan. Pesta demokrasi, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 sudah didepan mata. Sebagai titik sentral kekuatan ekonomi dan politik di Indonesia, DKI Jakarta akan menjadi arena pertaruhan bagi para calon-calon Gubernur. Ibukota DKI Jakarta adalah miniatur Indonesia, mulus-tidaknya pesta demokrasi di ibukota juga akan membawa pengaruh besar bagi peta politik dan hukum di Indonesia secara umum.
Calon kuat Gubernur DKI Jakarta, sekaligus petahana, Basuki Tjahja Purnama atau kerap dipanggil Ahok telah melakukan pertaruhan besar. Setelah sekian lama menunggu dan berkalkulasi dengan partai-partai politik yang memiliki jumlah kursi signifikan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta, Ahok akhirnya memutuskan untuk maju dalam arena kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017 lewat jalur independen (Kompas, 10/03/2016). Keputusan yang tentu membuka celah kritik dan juga apresiasi.
Ahok jelas bukan yang pertama (dan yang terakhir) menjadi calon kepala daerah lewat jalur independen. Fenomena calon independen bukanlah wacana baru bagi Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) lewat Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 telah membuka katup demokrasi lokal dengan mengijinkan keberadaan calon independen dalam kontestasi Pilkada. Putusan tersebut juga mengakhiri pengkultusan dan dominasi parpol sebagai satu-satunya instrumen sah menuju pencalonan kepala daerah. Kemudian lewat Putusan Nomor 60/PUU-XIII/2015, MK RI kembali menguji Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, terutama Pasal 41 Ayat 1 dan 2. Dalam pertimbangan hukumnya, MK RI berpendapat bahwa pasal-pasal yang diuji telah mengabaikan prinsip keadilan. Syarat dukungan calon independen harus menggunakan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di pemilu sebelumnya, bukan jumlah keseluruhan masyarakat disuatu daerah. Putusan MK RI tersebut disambut baik oleh para penggiat dan pemerhati calon kepala daerah independen, karena putusan tersebut memberi ruang lebih luas bagi proses pencalonan kepala daerah independen.
Majunya Ahok dan para calon kepala daerah independen lainnya sekilas dapat dibaca sebagai manifestasi perlawanan mereka terhadap hegemoni dan dominasi partai-partai politik dalam kontestasi politik di Indonesia pada umumnya. Bahkan mereka dianggap sebagai gerakan ‘deparpolisasi’. Figur berwibawa calon independen dan kemampuan mereka membangun jaringan ‘akar rumput’ berbanding lurus dengan tingginya elektabilitas diwilayah pemilihan mereka. Fenomena calon kepala daerah independen seolah menjadi ‘gerhana’ yang menutupi sinar, kilau cahaya dan marwah partai politik (parpol) yang semakin meredup.
Namun tidak bisa dinafikan dalam bingkai negara hukum dan demokrasi, parpol tetaplah merupakan penggerak formal (formal mechanism) dari demokrasi. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan terhadap UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik ditegaskan fungsi dan peran sentral parpol dalam mengawal dan menjaga marwah demokrasi Indonesia. Parpol tidak semata berperan sebagai ‘perahu’ yang dapat mengantarkan calon pemimpin (baik nasional maupun lokal) dalam mengarungi ganasnya badai politik pemilihan umum yang pada akhirnya akan mengantarkan mereka ke ‘pulau idaman’ (baca: kursi pimpinan), namun lebih krusial parpol memiliki peran edukasi politik kepada masyarakat luas. Peran krusial terakhir yang sayangnya kadang kerap disepelekan oleh parpol.
Dalam puluhan tahun masa reformasi, alih-alih dapat memperkuat legitimasi dan meningkatkan tingkat kepercayaan publik, parpol dianggap belum mampu berperan sebagai medium perubahan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Corruption Perception Index 2015 parpol masih berada di urutan keempat sebagai lembaga terkorup di Indonesia, tepat berada dibawah kepolisian, parlemen (baik DPR maupun DPRD), dan kekuasaan kehakiman. Transparency International selama beberapa tahun berturut-turut memberi rekomendasi yang sama terhadap kinerja parpol dan parlemen untuk melakukan penguatan di ranah penegakan etika, pencegahan korupsi, transparansi dan akuntabilitas politik (Transparency International, 2015).
Namun alih-alih mampu menjawab rekomendasi diatas dengan peningkatan kinerja, dalam Pilkada serentak silam noktah hitam parpol bertambah dengan banyaknya dugaan praktek ‘beli perahu’ dalam proses pencalonan kepala daerah. Belum lagi dengan dugaan kuat politik uang dalam pelaksanaan Musyawarah Nasional parpol tertentu (Kompas, 12/02/2016). Praktek-praktek tersebut tidak mudah dapat diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga penegak hukum lainnya, dikarenakan tidak memenuhi unsur ‘merugikan keuangan negara’.
Dalam menjawab tantangan jaman yang semakin kompetitif, reformasi ditubuh parpol adalah sebuah keniscayaan. Strategi reformasi parpol tidak semata berkutat pada aspek internal-institusional semata namun juga dari aspek eksternal-kultural. Strategi diatas berkesesuaian dengan teori klasik demokrasi dari Robert Dahl (1973) yang memaparkan dua syarat penting dari demokrasi, yakni: kuatnya partisipasi publik dan hadirnya kompetisi yang sehat. Dengan semakin sehatnya basis institusional suatu parpol, diharapkan dapat meningkatkan jumlah partisipasi publik atau masyarakat terhadap parpol tersebut. Dengan kata lain, semakin mapan internal parpol akan semakin efektif parpol tersebut menyerap dan mewujudkan aspirasi publik.
Selain itu guna merangsang kinerja parpol, iklim kompetisi yang sehat sangat diperlukan untuk membangun ulang kultur parpol. Kehadiran calon independen seharusnya dapat menjadi peringatan (warning call) bagi parpol untuk dapat berbenah diri. Dengan kata lain, keberadaan calon kepala daerah independen justru merupakan sebuah strategi untuk meningkatkan kualitas parpol lewat kompetisi yang adil untuk memenangkan hati rakyat. Namun semuanya kembali kepada respon parpol, apakah mampu berpikir jernih dan positif, sembari melakukan reformasi budaya di internal parpol dan menjawab tantangan dengan bersaing secara sehat dengan calon kepala daerah independen, atau enggan keluar dari status quo.
Pergerakan lincah calon kepala daerah independen janganlah terlalu jauh dimaknai sebagai perwujudan ‘deparpolisasi’ ataupun ‘apatisme politik’. Malah fenomena calon kepala daerah independen dapat dimaknai sebagai gerakan ‘hijrah’ menuju politik yang lebih substansial. Para pendukung dan relawan calon kepala daerah independen sejatinya adalah politisi. Yang membedakan mereka dengan politisi ‘formal’ hanya mereka bergerak melalui instrumen gerakan sosial, bukan parpol. Politisi parpol tidak perlu merasa tersaingi oleh keberadaan para relawan, karena parpol akan tetap ada dan mungkin akan tetap relevan dalam bingkai negara hukum dan demokrasi. Akhirnya, sebelum ‘gerhana matahari’ menelan habis kilau cahaya parpol, kereta perubahan dalam tubuh parpol harus singgah sebentar di stasiun kesadaran, untuk sejenak melakukan perenungan dan oto-kritik. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H