Lihat ke Halaman Asli

Nalar HAM Bela Negara

Diperbarui: 20 Oktober 2015   11:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Publik bereaksi terhadap wacana kontroversial pemerintah untuk melaksanakan program pendidikan bela negara. Wacana tersebut diperkeruh dengan pernyataan bernada ancaman dari Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolkam), Luhut Binsar Panjaitan juga memberi rekomendasi penuh terhadap program bela negara (Jawa Pos, 2015). Keduanya menekankan pentingnya pemenuhan ‘kewajiban’ warga negara kepada negara, ketimbang terus menerus meminta pemenuhan ‘hak’.

Pernyataan kedua menteri berlatar belakang militer tersebut perlu untuk dianalisa lebih lanjut. Manakah yang lebih penting dan utama, pemenuhan hak-hak asasi warga negara (dan juga manusia) oleh negara ataukah pelaksanaaan kewajiban warga negara (dan juga manusia) terhadap negara? Pertanyaan dilematis dan paradoksal yang mirip dengan pertanyaan klasik, mana yang lebih dulu keluar telur atau ayam.  

Sejatinya pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab secara ‘hitam dan putih’, karena idealnya diantara ‘hak’ dan ‘kewajiban’ harus selalu ada keseimbangan. Harus ada relasi memberi dan menerima (take and give) diantara keduanya. Persoalannya terletak pada kemampuan negara untuk menjaga dan memelihara ‘keseimbangan’ tersebut.

Merujuk pada tesis negara integralistik yang dicetuskan oleh Soepomo pada sidang BPUPKI. Tesis yang terinspirasi oleh pemikiran filsuf Spinoza dan Hobbes, yang memposisikan negara sebagai ‘orang tua’ sedangkan warga negara diposisikan sebagai ‘anak’ (Nasution, 1998). Dalam tesis ini ada relasi atas-bawah (patron-client), bersifat subordinatif dan tidak berimbang. Tesis tersebut kerap dianggap tidak demokratis dan cenderung dapat melenceng pada bentuk sewenang-wenangan negara dan pemerintah kepada warga negara. Namun lewat analogi ‘orang tua’ dan ‘anak’ dapat ditafsirkan bahwa, untuk mendidik ‘anak’ (warga negara) yang baik dan saleh, sang ‘orang tua’ (negara) harus terlebih dulu memberi contoh yang baik dan benar.

Negara Republik Indonesia dalam hal ini kerap abai dalam memberi ‘contoh yang baik dan benar’. Sebelum menuntut warga negara menjalankan kewajiban bela negara, sudahkah negara dan pemerintah memenuhi kewajibannya untuk menjamin hak-hak asasi (manusia) warga negaranya? Alih-alih menjadi pelindung dan penjaga hak-hak asasi manusia, negara dan pemerintah kerap berprilaku selayaknya rezim penindas yang represif, ibarat ‘orang tua’ yang tega memperkosa anak kandungnya sendiri. Sudah terlalu banyak noktah hitam pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan dan praktek pembiaran oleh organ negara. Negara dan pemerintah dapat menjadi aktor penindas hak asasi baik secara langsung (direct violation) dengan memberi batasan kepada hak asasi manusia, semisal pembatasan hak dan partisipasi politik yang terjadi di zaman Orde Baru, maupun secara tidak langsung (indirect violation) dengan bersikap ‘diam dan netral’ disaat warga negara mengalami diskriminasi berbasis kesukuan dan agama yang memerlukan keberpihakan konkrit negara dan pemerintah. 

Dalam konteks inilah pernyataan Louis Althusser (1970) menemukan relevansinya. Akibat tidak imbangnya posisi negara dengan warga negara, dalam prakteknya negara berkembang menjadi 2 (dua) organ negara penindas, yang pertama adalah Repressive State Apparatus (RSA) atau Aparatus Negara Penindas. Kedua, Ideological State Apparatus (ISA) atau Aparatus Negara Ideologis. Dalam historiografi dunia, negara kerap menjadi keduanya, namun tipe penindas kedua yang disebut Althusser sebagai yang paling berbahaya. Aparatus Negara Ideologis (ISA) beroperasi rapi masuk dalam jantung-jantung kekuasaan hukum (legal ISA), pemangku agama (religious ISA) dan ranah pendidikan (educational ISA). Program bela negara yang berwujud program pendidikan semi-militer dapat diklasifikasikan sebagai perwujudan ISA dalam konteks pendidikan yang rentan terhadap doktrinasi dan penyeragaman pola pikir. Michel Foucault (1977) menyebut fenomena ini sebagai governmentality yang bertujuan untuk mempengaruhi pemikiran alam bawah sadar warga negara terhadap konsepsi negara, dimana negara selalu dikonsepsikan sebagai kekuatan adi luhur yang tidak pernah salah dan abai terhadap warga negara. Praktek yang sejatinya sudah lama ditinggalkan oleh negara-negara maju dan dicap ‘haram’ dalam atmosfir berdemokrasi.  

Dalam tataran doktrinal hukum, program bela negara juga dapat diperdebatkan keshahihan hukumnya. Walau dalam rumusan Pasal 30 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara yang merupakan hasil perubahan kedua UUD 1945, menyebutkan; “warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara” (ayat 1). Namun rumusan ayat 1 tersebut tidak dapat serta merta dibaca secara mutlak dan terpisah dengan pasal-pasal dan ayat-ayat lain. Pasal 30 harus dibaca secara holistik dan menyeluruh, warga negara tidak diperuntukkan sebagai kekuatan utama pertahanan negara, namun hanya sebagai kekuatan pendukung semata. Organ utama pertahanan negara terletak pada Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia. Selain itu Pasal 30 juga harus dibaca dengan memperhatikan rumusan Pasal 28A-28J tentang Hak Asasi Manusia (HAM).              

Lebih lanjut dalam peraturan organik, Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, memberi pemahaman yang lebih jelas dan komprehensif. Pasal 7 ayat (2) menyebutkan; “TNI sebagai kompomen utama pertahanan negara”, dan Pasal 8 ayat (3) menyebutkan; “rakyat bertindak sebagai komponen cadangan dan pendukung yang keikut sertaannya harus diatur oleh undang-undang”. Dalam rumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa keikut sertaan warga negara dalam program bela negara tidaklah bersifat wajib dan harus didahului oleh undang-undang yang mengaturnya.     

Sejarawan Benedict Anderson (1983) yang kerap meneliti dan mengomentari sistem budaya dan politik Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru pernah berujar bahwa sistem budaya dan politik Indonesia dipengaruhi oleh konsepsi paternalistik yang mewujudkan suatu ‘kesadaran masyarakat yang terimajinasi’ (imagined community). Yang alih-alih bersifat otentik, konsepsi tersebut malah bersifat artifisial dan rapuh. Salah satu produk dari imagined community adalah narasi nasionalisme, yang kerap didengungkan oleh Presiden Soekarno dan narasi ‘pembangunan’ Pancasila yang diperkenalkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Tentang nasionalisme, Anderson (1982) berkata bahwa nasionalisme Indonesia bersifat semu (artificial nasionalism) karena hanya  disampaikan lewat pidato dan jargon, tanpa menyentuh aspek implementasi dalam ranah sosial kemasyarakatan.

Ibarat ingin mengulang sejarah, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali ingin membangkitkan ‘nasionalisme semu’ lewat program bela negara. Adalah salah dan sesat bila pemerintah hanya mereduksi konsep bela negara sebatas program pelatihan wajib semi-militer. Bela negara memiliki makna yang lebih substansial. Pelajar yang mati-matian belajar keluar daerah atau negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan segenap pengorbannya bekerja diluar negeri, tenaga pendidik dan kesehatan yang ditempatkan kepelosok negeri, dan aktivis yang ambil resiko melawan pemimpin lalim dan korup, sesungguhnya telah melakukan ‘bela negara’ tanpa disuruh,diperintah dan diancam.  Nasionalisme harus diambil ‘api’nya, bukan ‘abu’ nya. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline