Lihat ke Halaman Asli

Jokowi dan Aktivisme Kekinian: Refleksi 17 Tahun Reformasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Mei adalah bulan yang romantik sekaligus heroik bagi Indonesia. 17 tahun lalu dibulan Mei, Republik Indonesia ‘hamil tua’ mengandung embrio gerakan reformasi yang pada akhirnya berhasil menggulingkan Presiden Soeharto yang berkuasa lebih dari 23 tahun. Reformasi dibayar dengan terbunuhnya puluhan nyawa mahasiswa/i pada peristiwa Semanggi I dan II beberapa bulan kemudian.  Hari, bulan dan tahun berlalu begitu cepat, tidak terasa masa reformasi sudah memasuki usia ‘remaja’.

Memasuki masa ‘remaja’ yang seharusnya lebih mendewasa, publik masih terlena dengan perdebatan diksi-diski populis, semisal; ‘rakyat’, ‘pro-rakyat’ dan ‘kepentingan rakyat’ yang jamak ditemukan dimana-mana, baik dari teriakan-teriakan demonstrasi mahasiswa/i sampai pada ruang kampanye  pemilu. Diksi-diksi tersebut memiliki efek psikologi masa yang besar, sekaligus juga sangat rawan untuk diselewengkan. Atas nama ‘kepentingan rakyat’, beberapa kelompok aktivis mahasiswa/i yang disinyalir kuat memiliki kedekatan politis dan menjadi underbow dari partai politik oposisi dengan heroik mendeklarasikan tanggal 20 Mei 2015 sebagai hari terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebagai gerakan sosial-politik, aktivisme mesti harus sering direfleksikan. Dikarenakan aktivisme tidaklah bersifat tabula rasa, namun kaya akan aspek historis, politis dan aspek-aspek kontemporer lain. Sulit untuk disanggah bahwa ada perbedaan besar antara generasi aktivis pra-kemerdekaan, generasi aktivis pra-reformasi dengan generasi aktivis sekarang (Feith, 2007). Aktivisme lahir dan berkembang dalam konteks dan suasana kebathinan yang berbeda. Refleksi diperlukan agar aktivisme, sebagai sebuah nilai idealisme tidak jatuh pada pengkultusan kepada kepentingan politik-praktis semata. Apabila aktivisme diracuni oleh kepentingan politik-praktis, maka alih-alih membawa angin segar dalam proses demokratisasi, aktivisme menjadi paradoks dari demokrasi itu sendiri.

Refleksi dilakukan dengan menilai secara adil performa pemerintah. Karena baik atau buruknya kinerja pemerintah merupakan premis utama gerakan aktivisme. Sejatinya, keadilan dalam menilai merupakan jantung utama aktivisme. Bukankan seorang aktivis harus jujur baik dalam pemikiran maupun perbuatannya?

Menilai Jokowi secara adil

Suka tidak suka dengan figur Presiden Jokowi, publik harus mengakui bahwa beliau adalah ‘tsunami politik’ Indonesia. Hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun Jokowi berhasil menduduki posisi strategis sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta  dan terakhir, Jokowi dilantik sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2014 silam untuk masa bakti 2014-2019.

Masa jabatan Presiden baru berlangsung satu semester. Namun sudah banyak kritik terhadap pola dan paradigma kebijakan Presiden Jokowi. Dari kebijakan tidak populis menaikan harga BBM, sampai pada blunder politik pengangkatan jabatan Kapolri yang bermuara para kisruh abadi Polri-KPK. Dalam perspektif hukum dan politik, penulis menilai rapot kinerja Presiden Jokowi masih jauh dari harapan. Namun sebelum menilai lebih jauh, layak tidaknya Presiden Jokowi diberhentikan. Ada baiknya mencermati hal-hal berikut.

Pertama, dalam perspektif politik, demokrasi yang termanifestasi dalam pemilihan umum haruslah dimaknai dalam kacamata realis. Pemilu dalam hal ini pemilihan presiden tidaklah bertujuan untuk memilih pemimpin yang sempurna ibarat nabi. Demokrasi hanya memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih seseorang pemimpin yang paling sedikit mudaratnya (the lesser evil), dalam hal ini Jokowi lah orangnya. Tidak bisa dipungkiri semua kebijakan yang diambil Presiden Jokowi merupakan hasil ‘ijtihad’ politik beliau, menimbang sembari berkompromi dengan kekuatan politik yang ada. Benar bila disebut Jokowi sebagai ‘manusia politik’, karena jabatan presiden sendiri adalah jabatan politik. Terutama dalam konteks politik multi-partai, dimana koalisi adalah suatu keniscayaan, siapapun yang menjadi presiden pasti dan harus mengakomodir dan berkompromi dengan kekuatan politik. Bukankan politik juga bermakna sebagai seni menjaga kepentingan.

Kedua, presiden merupakan pembuat kebijakan tertinggi, yang bertugas untuk menjalankan roda  pemerintahan dengan kebijakan dan diskresi (Anderson, 1975). Kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah haruslah dimaknai sebagai sebuah proses yang berkesimbungan dan sistematis. Easton (1969) membagi kebijakan publik menjadi beberapa proses; penyusunan, formulasi, pembuatan, implemetasi, sampai kepada evaluasi kebijakan. Karena bersifat sistemik-terukur, kebijakan publik tidak bisa dinilai dalam jangka pendek (short run), melainkan jangka panjang (long run). Kebijakan publik bersifat prospektif dan futuristik. Buah manis dari kebijakan publik tidak dapat dikecap dalam tempo yang singkat. Namun tentu kebijakan tidak selalu berbuah manis, kendala internal maupun eksternal dapat menjadi penyebabnya. Diperlukan peran aktif masyarakat dan stake-holders untuk melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan publik. Masa kepemimpinan Presiden Jokowi yang bahkan belum genap setahun, masih terlalu prematur untuk dievaluasi, apalagi diberhentikan.

Ketiga, pacsa amandemen UUD 1945 yang dilaksanakan dalam empat tahapan, syarat dan proses pemakzulan presiden/wakil  presiden tidaklah mudah. Presiden dan wakil presiden tidak dapat dijatuhkan dengan alasan politik-subyektif sebagaimana yang dialami oleh Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden beserta wakil presiden bahkan tidak bisa diberhentikan karena akibat kesalahan kebijakan (doelmatigheid beslissing).  Presiden dan wakil presiden hanya bisa diberhentikan dengan alasan pelanggaran hukum yang diatur secara definitif dan limitatif, dengan skema proses politik di DPR, pertimbangan hukum oleh MK sebagai forum previlegiatum dan pemberhentian secara formal lewat rapat paripurna MPR (Pasal 7B UUD 1945). Perubahan dalam bingkai konstitusi tersebut berjangkar pada prinsip pemerintahan presidensil dan negara hukum. Masa jabatan presiden dan wakil presiden yang fixed term selama 5 tahun bertujuan untuk menjaga stabilitas bernegara.

Kedewasaan berdemokrasi

Mengutip pendapat Ariane (2015) yang menyebut karakter generasi aktivis kekinian sebagai generasi yang heroik-resah, dimana ada beban psikologi untuk bersaing dengan aksi heroik generasi aktivis sebelumnya yang berhasil menjatuhkan rezim Orde Baru. Generasi aktivis kekinian perlu menginsyafi bahwa ruang dan konteks perjuangan sudah berbeda. Pemerintahan Jokowi dengan rezim Orde Baru sangat jauh berbeda. Konteks politik dan hukum Indonesia saat ini sudah sangat jauh berkembang ketimbang diera Orde Baru. Keterbukaan publik, kebebasan berekspresi dan menguatnya civil society adalah beberapa penghalau pemerintah untuk berlaku sewenang-wenang.

Gerakan aktivisme tidak harus selalu berhadapan vis-a-vis dengan penguasa. Menghormati proses bernegara dan berdemokrasi juga merupakan wujud nyata kontribusi generasi aktivis muda. Generasi aktivis muda harus mengingat bahwa menyelesaikan masalah haruslah tanpa menimbulkan masalah baru. Hal tersebut tidak berarti mematikan daya kritis, namun kritik pun perlu bersandar pada rasionalitas.

Aktivisme adalah ‘bahan bakar’ sebuah bangsa, yang digunakan untuk’membakar’ semangat bangsa, namun bila diselewengkan dapat membakar hangus sebuah bangsa. Sejarah dunia sudah mencatat beberapa negara-negara yang terbelah (divided states) semata karena provokasi baik dari lingkup internal maupun eksternal. Bagaimana pun aktivisme yang berpangkal pada rasionalitas perlu dikelola dengan baik. Ir. Soekarno pernah berkata; “kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup dimasa pancaroba, tetaplah semangat elang rajawali”. Semoga kalimat tersebut bisa menjadi teladan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline