Lihat ke Halaman Asli

Hukuman (Pidana) Mati dan Prinsip Kehati-hatian

Diperbarui: 29 Juli 2016   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Hidayatullah.com

Setelah melewati proses hukum dan negosiasi yang berliku, pemerintah Indonesia akhirnya mengeksekusi delapan pengedar dan bandar narkoba di Lapas Nusakambang. Eksekusi mati tersebut merupakan penegasan sikap Presiden Joko Widodo terhadap maraknya praktek pengedaran narkoba di Indonesia. 

Namun ada perkembangan menarik dari proses eksekusi mati tersebut, eksekusi mati terhadap wanita berpaspor Filipina, Mary Jane Veloso ditunda. Penundaan hukuman mati dikarenakan telah ditemukannya bukti baru (novum) dengan tertangkapnya orang yang diduga merekrut dan memanfaatkan terpidana untuk membawa narkotika ke Indonesia. 

Penundaan hukuman mati tersebut disambut positif oleh kalangan aktifis Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka tidak hanya menolak hukuman mati namun juga menekankan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam proses hukuman mati.

Hukuman mati memang isu yang kontroversial. Dalam perspektif hukum positif, hukuman mati atau yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut pidana mati, merupakan sebuah keniscayaan dan konsekuensi logis dari perbuatan pidana yang diatur dalam KUHP sebagai bagian dari pidana pokok. 

Selain itu pidana mati juga diatur dalam beberapa undang-undang lex specialis semisal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam tataran konseptual-filosofis, ide awal dari pidana mati dipelopori oleh ahli hukum Eropa Kontinental, semisal Jonkers yang menganggap pidana mati sebagai hukum darurat atau noodrecht, dan filsuf Immanuel Kant dan Feurbach dengan teori pembalasan. Pidana mati diperbolehkan untuk kejahatan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan (crime against humanity).

Publik internasional mengutuk pelaksanaan hukuman mati oleh pemerintah Indonesia dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip HAM, terutama hak sipil dan politik yang tercantum dalam International Covent on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia pada tahun 2005 silam. Namun perlu ditekankan bahwa pemerintah Indonesia tidak menyetujui dan meratifikasi Protokol II dari ICCPR tentang hukuman mati yang bersifat fakultatif. Dalam hal ini kebijakan pidana mati oleh pemerintah Indonesia tidaklah dapat diganggu gugat oleh publik internasional.

Namun dasar hukum yang kuat terhadap pidana mati tidak serta merta membuat pemerintah dengan mudah menghukum mati terpidana. Pidana mati tidak cukup hanya dilihat dari perspektif positif-konseptual semata, namun harus lewat pendekatan kasus per kasus, dikarenakan masing-masing kasus memiliki konteks dan keunikannya sendiri. Dalam hal ini, Kasus Mary Jane Veloso layak untuk dipertimbangkan.

Kasus yang menimpa buruh migran dan ibu dua anak, Mary Jane Veloso sejatinya adalah potret buruk kebijakan buruh migran dan alpanya negara dalam penyelesaikan praktek perdagangan orang (human trafficking) baik dalam lingkup internasional maupun nasional (Irianto, 2015). Praktek pengedaran narkotika internasional berkelindan mesra dengan kejahatan-kejahatan lain. 

Kurir belum tentu merupakan oknum penjahat, namun bisa juga semata korban yang dijebak atau dimanfaatkan oleh orang lain. Isu pengedaran narkotika dan pidana mati tidak dapat dengan mudah disimplifikasi, sebagaimana mengeneralisasi membela hak terpidana mati kasus narkotika, sebagai dukungan terhadap pengedaran narkotika. Penegak hukum dan Presiden sebagai pemberi grasi seharusnya mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil keputusan.

Kehati-hatian

Sebagaimana tercantum dalam UU No 22 tahun 2002 tentang Grasi, Presiden memiliki hak prerogatif-subyektif untuk memberi grasi kepada terpidana. Kebijakan memberi grasi dapat dilihat sebagai upaya non-hukum guna mempertimbangkan dengan cermat dan hati-hati fakta-fakta yang terlewatkan (atau yang sengaja diabaikan) dalam proses hukum. 

Hukum sejatinya memang berwatak keras, namun kerasnya prosedur hukum tidak serta merta berarti mengabaikan konteks non-hukum yang melingkupi hukum. Grasi dalam hal ini merupakan perwujudan kebijakan dan kearifan yang bertujuan melembutkan watak keras hukum.

Presiden Jokowi wajib dengan cermat memperhatikan fakta-fakta tersembunyi namun krusial, semisal perbedaan peran dan relasi antara kurir dengan bandar. Apakah relasi didasarkan atas kesepakatan ataukah adanya indikasi kuat penipuan dan praktek perdagangan orang? Selain itu apakah terpidana telah mendapatkan pemenuhan hak-haknya selama menjalani proses hukum? Mary Jane Veloso dalam proses penyidikan bahkan tidak mendapatkan jasa penterjemah tersumpah (Kompas, 2015).

Sebelum menjatuhkan keputusan, idealnya Presiden Jokowi bertukar pikiran dengan hakim-hakim yang terlibat dalam proses hukum dari tingkat pertama, banding, kasasi sampai Peninjauan Kembali (PK). Bila memungkinkan bertemu langsung dengan terpidana, guna lebih memahami kondisi dan suasana kebathinan terpidana. Prinsip kehati-hatian perlu diterapkan karena sejarah dunia sudah mencatat, ada banyak terpidana mati yang merupakan korban peradilan sesat atau semata korban praktek perdagangan orang. Prinsip kehati-hatian selaras dengan adagium hukum yang berbunyi: “lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah, daripada menghukum (mati) satu orang yang tidak bersalah.“

Pidana mati mungkin dapat memberi efek jera dan mengirim sinyal keras terhadap praktek peredaran narkotika. Namun pidana mati tidak cukup untuk memberantas praktek penyalahgunaan narkotika di Indonesia secara menyeluruh. Reformasi internal perlu dilakukan ditubuh sistem hukum sendiri dengan membersihkan sistem peradilan dan lembaga pemasyarakatan dari oknum-oknum korup. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa peredaran narkotika masih berlangsung didalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan disokong oleh oknum aparat, sebagaimana yang terjadi dibeberapa Lapas di Indonesia (MetroTV, 2015).  

Dalam lingkup yang lebih luas, penyalahgunaan narkotika juga dipengaruhi oleh faktor kemiskinan, dan mandulnya sistem pendidikan karakter baik oleh keluarga maupun negara. Akhirnya, diperlukan suatu ikhtiar yang komprehensif dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap isu penyalahgunan narkotika. Dalam konteks pelaksanaan pidana mati, perlu dipahami bahwa sejatinya hukum tidak hanya dapat dijalankan lewat pengetahuan konseptual tentang hukum positif, namun juga harus dijalankan lewat kearifan dan kebijaksanaan. Hukum harus kembali ke khittahnya untuk memanusiakan manusia. Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline