Apakah anda pernah merasa dilecehkan atau dianggap sebelah mata oleh orang lain? Bila, iya. Maka anda tidaklah sendiri. Diremehkan adalah ‘nama tengah’ saya. Hal yang dulu pernah membuat saya tertekan dan minder.
Bila ada yang bilang manusia adalah mahkluk sosial. Saya dan (mungkin) anda akan dengan mudah setuju dengannya, karena hal tersebut sudah merupakan ‘kesepakatan bersama’. Namun saya akan lebih setuju dan lebih terkesan dengan pernyataan; manusia adalah mahkluk sejarah, atau lebih tepatnya lagi manusia adalah hasil dari sejarah ‘kecil’nya sendiri. Dalam hal ini aspek ‘sosial’ dan ‘sejarah’ saling berkelindan. Lingkungan sosial adalah isi dari perjalanan manusia, dengan siapa dia bergaul, bercengkrama dan berinteraksi. Sedangkan ‘sejarah’ adalah lingkup atau wadah dinamika sosialnya.
Sebelum terlalu teoritis dan (sok) filosofis. Tulisan saya akan lebih practical. Pemahaman yang merupakan hasil pengalaman pribadi saya sendiri, yang subjektif, mungkin bias dan non-kognisi.
Sedari kecil saya tidak pernah diajari untuk menjadi ‘orang yang hebat’. Orang tua saya tidak pernah menuntut saya untuk selalu rangking satu atau minimal sepuluh besar dikelas. Orang tua saya memandang saya, anak laki-laki mereka satu-satunya dengan kacamata yang realistis. Kasarnya mereka membiarkan saya berkembang sendiri. No pressure at all! Apabila dianalogikan dengan musik, maka keluarga saya adalah ‘rock and roll’, yang realistis, apa adanya dan cenderung ‘cuek’ dalam bersikap, bukan ‘syair melayu’ yang mendayu-dayu penuh untaian kata mutiara.
Dampak negatif dari pola parenting tersebut mungkin menjadikan saya orang yang ‘lambat panas’. Kurangnya motivasi membuat saya kadang mudah menyerah dan sering minder. Saya sering berharap (dalam hati) ayah saya akan memberi kata-kata penyemangat dan petuah-petuah normatif kepada saya, sembari merangkul saya ibarat seorang teman. Namun kembali saya harus kecewa, mereka terlalu ‘cuek’. Mungkin mereka hanya cukup membathin; you can do by yourself, son! Namun sekali lagi kita harus sadar, tidak ada manusia (dan juga keluarga) yang sempurna, bukan?
Masa sekolah di Sekolah Dasar (SD) mungkin merupakan fase terberat dalam hidup saya. Fase dimana untuk pertama kalinya saya mendapati kenyataan pahit, bahwa hidup ini banal penuh cibiran berbalut kemunafikan. Untuk pembaca budiman yang lahir dan tumbuh di tahun 80an sampai 90an mungkin mengalami hal yang serupa dengan saya, dimana lingkungan sekolah (ya, bahkan untuk level SD) pun penuh dengan tekanan-tekanan psikologis. Saya masih ingat dengan ibu guru agama Islam, duduk didepan kelas dengan penggaris kayu ditangan kanannya, dan beliau tidak lupa tersenyum kecut, sembari berkata; “ayo maju kedepan satu-satu, ibu mau dengar hapalan surah-surah pendek kalian”. Gesture ibu guru tersebut sudah cukup membuat saya ketar-ketir pada saat itu. Tidak hanya ibu agama yang berkata demikian, guru matematika sampai biologi pun berkata yang sama.
Begitulah pola belajar kita dulu (semoga saat ini sudah atau akan berubah). Pola yang semata berorientasi pada hasil kuantitatif belaka. NIlai-nilai dalam rapot berupa angka 5 sampai 9 menjadi justifikasi mutlak, pandai tidaknya seseorang. Stigma medioker melekat pada diri saya, seorang pemikir yang malas.
Pola yang sama terulang di level pendidikan lanjut, SMP sampai SMA. Saya masih ingat dengan betapa ‘angkuhnya’ teman-teman saya sewaktu memasuki kelas III dengan penjurusan IPA. Kerling mata mereka terhadap kami siswa-siswa yang memutuskan mengambil kelas IPS (apalagi yang mengambil kelas Bahasa, alamak jan!), seolah berkata; lihatlah mereka siswa-siswa ‘kelas kedua’.
Selepas masa banal SMA, dan memasuki perkuliahan. Tahun pertama reuni SMA adalah yang paling menyebalkan. Sekarang trendnya berbeda, teman-teman SMA yang borjuis kuliah di tanah seberang. Mereka berkumpul dalam acara reuni sembari membawa kisah betapa hebatnya kuliah disana, bagaimana pergaulan disana dan sampai sekonyol-konyolnya tentang bagaimana ‘thrill’nya bertemu dengan Duta Sheila on 7 di warung angkringan di Jalan Malioboro. Untuk teman-teman yang hanya mampu kuliah di kampung halaman. Kerling mata mereka seolah berkata; hei, kalian hanya warga kelas dua!
Alur kehidupan saya pun berlanjut. Diakhir masa kuliah, saya yang (kata orang) sedikit pandai dalam bahasa inggris ini (walau dengan grammar yang hancur lebur), terpilih sebagai perwakilan propinsi untuk program pertukaran pemuda antar negara. Pengalaman pertama saya melihat budaya dan dunia luar.
Jujur diakui, selama masa pembekalan dan kegiatan program, saya merasa kemampuan saya jauh dibawah teman-teman yang lain. Saya, anak kampung ini pun menjadi minder. Teman-teman yang berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera terlihat hebat dalam berinteraksi dan berargumen, sementara saya hanya sesekali berbicara. Dalam kontingen Indonesia pun tidak bisa dinafikan adalah pengkotakkan pergaulan. Saya merasa lebih nyaman dan tidak merasa tertekan bila bergaul dengan teman-teman sesama Indonesia bagian timur, yang mungkin dianggap marginal oleh kawan-kawan lain.
Sungguh dicap medioker itu tidak mudah. Ada beban psikologis yang besar. Selalu ada praduga dibalik semua kerlingan mata dan ucapan. Ah itu sungguh masa yang sangat buram.
Sebelum melangkah kebagian lain, sekali lagi saya ingatkan kepada pembaca yang budiman. Penggambaran diatas murni hanya asumsi subjektif saya. Mungkin saya benar atau salah, hanya Tuhan yang tahu.
Selepas beberapa ‘sejarah’ diatas, saya bertekat untuk lebih baik dan sukses ketimbang orang-orang yang dulu meremehkan saya. Jujur, ada terbesit rasa dendam dilubuk hati terdalam. Namun secepatnya saya membuang perasaan itu. Saya menginsyafi musuh terbesar saya bukan mereka, namun diri saya sendiri. Saya tiba disatu titik, dimana saya memutuskan untuk melawan diri saya sendiri. Meyikapi kehidupan, saya jadi teringat pesan moral dalam novel karangan Muchtar Lubis yang berjudul; Harimau Harimau. Pesan moralnya kurang lebih berkata: “sebelum membunuh ‘harimau’ (lawan), bunuhlah dulu ‘harimau’ didalam dirimu.”
Untuk membunuh sang ‘harimau’, saya mulai menghimpun, kata-kata, dan ekpresi yang sering menyudutkan saya. Baik yang datang dari lingkungan sekolah, perkuliahan sampai dilingkup keluarga saya sendiri. Saya menempatkannya dalam ‘ruang’ motivasi dalam hati dan pikiran saya. Setiap kali saya merasa malas dan mudah menyerah, saya akan kembali ‘memutar’ memori-memori itu dikepala saya. Hal tersebut terbukti ampuh, saya meyakini bahwa sungguh tidak ada batas antara manusia dengan langit. Satu-satunya batas adalah diri kita sendiri.
Akhir kata, tulisan ini tentu bukanlah kisah kesuksesan saya. Jalan saya masih panjang dan berliku. We simply don’t know what the future holds. Hanya sebatas pengingat bahwa manusialah pemegang otoritas akan dirinya. Kitalah sejatinya penulis utama ‘sejarah kecil’ kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H