Lihat ke Halaman Asli

Moralitas Hukum dalam Pusaran Politik Kepentingan

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimasa awal kepemimpinan Presiden Jokowi yang masih seumur jagung, publik terus-menerus disuguhkan berbagai manuver politik. Isu hangat dalam beberapa minggu terakhir adalah tentang pengangkatan Kapolri. Presiden menurut undang-undang memiliki kuasa untuk mencalonkan beberapa calon Kapolri, yang mana kemudian calon tersebut harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Alur prosedural tersebut sangat rentan terhadap pengaruh politik kepentingan (vested interest). Berbeda dengan proses rekruitmen menteri dimana Presiden Jokowi melibatkan KPK dan PPATK. Proses pemilihan Jaksa Agung dan Kapolri alpa dari proses dengar pendapat dengan institusi-institusi anti-korupsi dan juga terkesan mengabaikan aspirasi ‘akar rumput’ pendukung Presiden Jokowi di Pilpres silam (Kompas, 2015).

DPR sebagai manifestasi suara rakyat pun bertingkah polah serupa. Alih-alih mempertimbangkan aspek moral dalam proses fit and proper test Kapolri, DPR malah memberi persetujuan terhadap calon Kapolri pilihan Presiden. Asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dijadikan tameng prosedural untuk meloloskan Budi Gunawan. ‘Bola panas’ kembali dilempar ke Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi didakwa tidak konsisten dalam menjaga tradisi rekruitmen jabatan publik. Calon Kapolri pilihan Presiden Komisaris Jenderal Budi Gunawan disinyalir kuat memiliki rekening ‘gendut’ tidak wajar. KPK sudah mengumumkan yang bersangkutan sebagai tersangka kasus korupsi. Demi menyelamatkan marwah lembaga kepresidenan, Presiden Jokowi merespon dengan menunda pengangkatan Budi Gunawan guna memberi waktu yang bersangkutan menyelesaikan proses hukum dengan KPK (Tempo, 2015).

Drama politik diatas mempertegas hipotesa bahwa di Indonesia, politik kepentingan masih menjadi ‘panglima’. Kapolri merupakan jabatan yang sangat strategis dalam bidang penegakan supremasi hukum. Idealnya pos penting tersebut haruslah diisi oleh orang yang berintegritas dan nir-kepentingan politik.

Ada fakta menyedihkan yang tidak dapat disanggah bahwa Presiden Jokowi tetap mengajukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, walaupun sebelumnya KPK sudah memperingatkan bahwa yang bersangkutan masuk daftar calon tersangka kasus korupsi. Dari fakta diatas bisa dianalisa bahwa Presiden Jokowi berada dalam tekanan politik yang sangat besar. Argumen yang menyatakan adanya ‘tangan-tangan tidak terlihat’ (invisible hands) dibalik lakon Presiden Jokowi sulit untuk dibantah.

Gerak politik Presiden Jokowi menyadarkan khalayak ramai terutama para pendukung beliau di Pilres silam bahwa Presiden Jokowi adalah semata manusia politik, dan jabatan presiden juga sebenarnya adalah jabatan politik. Logika politik adalah berkompromi dengan kepentingan-kepentingan. Tentu ada memberi dan menerima (take and give) dalam politik. There is no free lunch in politics!

Presiden Jokowi dituntut untuk dapat menyeimbangkan kepentingan-kepentingan politik yang bergentayangan disekitarnya. Strategi ‘jalan memutar’ (detour strategy) diambil dengan cara menunda pengangkatan Budi Gunawan. ‘Bola panas’ kembali ditendang balik ke KPK. Sekarang nasib Budi Gunawan mutlak berada ditangan KPK. Perhatian publik beralih kembali ke KPK, menunggu proses dan kepastian status hukum yang bersangkutan.

Isu pengangkatan Kapolri juga menjadi penegasan tentang betapa rapuh dan determinannya hukum terhadap politik. Realitas masih dirasa jauh dari ideal. Secara normatif dan filosofis, Indonesia adalah negara hukum yang tidak semata bernuansa formalistik namun juga filosofis-transendental dengan menjunjung moralitas hukum diatas segalanya. Hukum harus bermoral dan bijak.  Ahli hukum Inggris, A.V. Dicey (1835-1922) menyebutnya sebagai substantive rule of law.

Moralitas Hukum

Manifes terlihat bahwa moralitas hukum masih dipandang sebelah mata dinegeri ini. Padahal harapan terhadap tumbuh kembangnya moralitas hukum baik di level elit maupun ‘akar rumput’ sudah disemai oleh Presiden Jokowi sendiri lewat jargon politiknya, revolusi mental.

Revolusi mental merupakan jargon politik yang berkarakter filosofis, ketimbang doktrinal, dan sosiologis ketimbang formalistik-institusional. Jargon yang menyadarkan masyarakat akan pentingnya aspek isi (baca: mental) ketimbang kemasan. Mental bermakna sebagai nilai-nilai dan tata aturan moral baik sosial maupun normatif yang diterima sebagai suatu kelayakan dan kepatutan oleh masyarakat. Jargon politik ini mengena pada sanubari masyarakat yang sudah muak dengan praktek-praktek korup manipulatif berkedok prosedural-formalistik.

Dalam rekruitmen jabatan publik, pertimbangan moral haruslah selalu dikedepankan, terutama dalam semangat meritokrasi guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan operasional (good and functional governance). Moral sebagai ajaran kesusilaan dan moralitas sebagai tata aturan moral merupakan esensi utama hukum dan juga politik. Ajaran moral dan moralitas adalah sumber utama (jus gentium) dari hukum dan politik. Tanpa moralitas, hukum semata sebagai alat legitimasi penguasa untuk menekan lawannya, dan politik tanpa ajaran moral adalah kesesatan tertua dan terkejam didunia (Fuller, 1958).

Diskursus moralitas vis-à-vis hukum positif dizaman modern diperdebatkan oleh ahli hukum Amerika Serikat Lon Fuller dan H.L.A. Hart di jurnal Harvard Law Review. Fuller berpendapat hukum yang tidak berjangkar pada nilai moral dan moralitas pastilah tersesat dalam kebenaran semu, semisal rezim Hitler di Jerman dan fasisme Mussolini di Italia. Hart disisi lain hanya mempertanyakan nilai objektifitas dan pengukuran dari nilai moral tersebut, namun Hart senada dengan Fuller tidak menafikan pentingnya moral dalam bingkai negara hukum.

Ditarik mundur kebelakang, Plato sudah mewanti-wanti akan pentingnya kesadaran hukum kolektif masyarakat akan hal yang baik dan benar. Plato lebih memilih rasa keadilan moralis ketimbang hukum. Dalam teori klasiknya, raja-filsuf (king-philosopher), Plato menegaskan pentingnya aspek kepemimpinan sebagai penyalur dan mediator nilai-nilai kebaikan dalam masyarakat. Pemimpin (presiden) sebagai individu dan bukan institusi formal negara yang menjadi penjaga nilai moral di masyarakat. Pemimpin suatu negara haruslah orang yang memiliki kebijaksanaan tertinggi (Bodenheimer, 1974).

Ajaran moral berdimensi idealis jelas terlihat berbanding terbalik dengan realitas politik yang pragmatis-dinamis. Namun Presiden Jokowi sebagai ‘bapak bangsa’ dituntut untuk dapat terus memberi suri tauladan kepada masyarakat akan pentingnya nilai-nilai moral dalam praktek bernegara. Revolusi mental janganlah hanya semata dimaknai sebagai jargon, namun haruslah diaplikasikan dalam ranah empiris. Pemimpin berwatak filsuf sebagaimana imajiner Plato tidaklah sempurna bak dewa. Pemimpin harus terus membuka telinga dan hati terhadap kritik. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Bila aku (sebagai pimpinan) melenceng, luruskan aku dengan pedang (baca: kritik).”  Semoga Presiden Jokowi berani berbenah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline