[caption id="attachment_280070" align="alignright" width="298" caption="SBY/Admin (Kompas.com)"][/caption] Dalam rangka kunjungan resmi Presiden Indonesia bersama rombongannya, yang menurut rencana hari rabu, tanggal 6 Oktober 2010 akan mendarat di bandara Schiphol - Belanda, tiba-tiba diberitakan kedatangannya ditunda, dan berita penundaan tersebut menjadi marak di berbagai surat kabar maupun di tayangan berita televisi di Belanda. Sungguh aneh bin ajaib, dimana proses persiapan kunjungan kenegaraan, yang menyita waktu lama itu menjadi gagal secara mendadak karena khawatir atau takut pada ancaman gugatan sengketa presiden RMS atas Kejahatan terhadap Kemanusiaan di bawah tanggung jawab Presiden Yudhoyono. Menurut berita televisi sore hari, dikabarkan bahwa pada hari rabu jam 9 pagi, Pengadilan di Den Haag akan menggelar sidang gugatan hukum atas penangkapan presiden Indonesia, yang diajukan tuntutannya oleh Presiden RMS, Yohanes Wattilete di pengasingan. Pengacara Wemmeke Wisman menuntut atas nama Negara Belanda, supaya dalam waktu sangat singkat pernyataan gugatan tuntutan sengketa bisa diputuskan. Ini dimaksud agar kunjungan kenegaraan Presiden Yudhoyono, bisa diatur kembali rencana waktu kedatangannya di mendatang. Rupanya negara Belanda masih tetap mengharapkan kunjungan kenegaraan dari Indonesia, yang 40 tahun lamanya tidak pernah mendapat kunjungan Presiden Indonesia ke Belanda. Juga, Pengacara Negara Belanda harus bisa menjamin Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia untuk menikmati kekebalan hukum dari tuntutan gugatan sengketa kasus Pelanggaran HAM di Indonesia. Kasus Kejahatan Kemanusiaan yang tuduhannya ditujukan pada Presiden R.I sebagai penanggungjawab, memang bukan salah alamat. Pada tanggal 14 September 2010 yl Amnesty International menuntut pemerintah Indonesia untuk segera melakukan penyelidikan atas kematian 52 tahun aktivis Maluku, Yusuf Sapakoly. Berita meninggalnya seorang aktivis HAM dalam sebuah penjara di Ambon, katanya, disebabkan penyakit ginjal. Dan, menurut sumber informasi setempat, Yusuf Sapakoly memang telah lama menderita penyakit ginjal, tetapi perawatan medis penyakit ginjalnya ini selalu ditolak oleh pihak penjara Nania di Ambon. Juga, Sapakoly tidak pernah mendapat perawatan medikal khusus atas luka-luka cedera di tulang rusuknya sejak ia mengalami penyiksaan dalam penjara. Ayah dari empat anak itu, pada tahun 2007 ditangkap karena dituduh membantu 'aksi damai' dari sekelompok politik aktivis, yang ketika presiden Indonesia berkunjung di "Benang Raja", dalam aksi damainya menggelar bendera, simbol kemerdekaan Maluku Selatan. Menurut Donna Guest, direktur Amnesty International dari Asia-Pasifik: "Kegagalan untuk memberikan perawatan medis yang diperlukan untuk Yusuf Sapakoly, karena akibat perlakuan kejam dan tidak manusiawi dari pihak otoritas penjara. Maka Pemerintah Indonesia harus segera membentuk tim penyelidikan independen, efektif dan tidak memihak terhadap perawatan medis yang ditolak untuk Yusuf Sapakoly itu." Polisi dan Kejahatan Kemanusiaan Kekerasan polisi di Indonesia dinilai telah berakar pada budaya impunitas. Pelaku kejahatan kemanusiaan jarang digugat dan diajukan ke pengadilan. Padahal Polisi harus menegakkan hukum dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, tetapi polisi sering berperilaku seolah-olah mereka berada di atas hukum. Polisi Indonesia sendiri memang dikenal, secara sistematis bersalah dengan sikap dan tindakan kekerasan dan pelecehan-pelecehan serta penyalahgunaan tersangka. Ada pola kekerasan dalam penangkapan, interogasi dan di penjara. Sebagai contoh, tahanan dipukuli dan disetrum listrik, tidak adanya perlindungan keamanan bagi para demonstran yang melakukan aksi damai dan kasus lainnya yang sehubungan dengan tuduhan tersangka korupsi. Pelanggaran hak asasi manusia oleh polisi dan tentara, termasuk penggunaan kekerasan yang berlebihan selama penangkapan, kadang-kadang penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terhadap tahanan sampai mati. Terutama pecandu narkoba, pelaku tersangka kaum perempuan dari kelompok rentan adalah menjadi sasaran tindakan pemerasan, pemerkosaan dan kekerasannya. Pada bulan April 2009, Komite PBB Menentang Penyiksaan laporan periodik dari Indonesia. Komite PBB tentunya memuji proses perkembangan legislatif, tetapi juga menyatakan keprihatinannya tentang laporan yang dari "penggunaan metode penyiksaan rutinitas atas penyiksaan dan penganiayaan terhadap tersangka dalam tahanan polisi", atau melakukan penyiksaan selama operasi militer di daerah konflik. MiRa - Amsterdam, 5 Oktober 2010 Sumber: http://www.nu.nl/binnenland/2349393/staatsbezoek-indonesische-president-definitief-niet.html http://www.amnesty.nl/landen_dossier/5695?PHPSESSID=bf8260bc4402fa2a3a76790c84e4a79f#artikel66195
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H