Ada sebuah kaidah fiqih cabang dari kaidah pokok "adh-dhororu yuzalu" yang berbunyi: "Dar'ul mafashid aula min jalbil masholih" yang berarti Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan. Maksud dari kaidah ini adalah kalau berbenturan antara menghilangkan sebuah kemudharatan dengan sesuatu yang membawa kemaslahatan maka didahulukan menghilangkan kemudharatan. Kecuali kalau madharat itu lebih kecil dibandingkan dengan maslahat yang akan ditimbulkan.
Kaidah ini berlaku dalam segala permasalahan yang didalamnya terdapat pencampuran antara unsur mashlahah dan mafsadah. Jadi bila mafsadah dan mashlahah berkumpul, maka yang lebih diutamakan adalah menolak mafsadah.
Nabi Muhammad SAW., sebagai pemegang otoritas hukum (syari') memiliki perhatian lebih besar pada hal-hal yang dilarang (manhiyat) dari pada yang diperintahkan (ma'murat). Sebab, dalam manhiyat terdapat unsur-unsur yang dapat merusak dan menghilangkan hikmah larangan itu sendiri, tidak demikian halnya dalam ma'murat.
Dalam kehidupan ini tentu kita pernah dihadapkan dengan beberapa kondisi yang mengharuskan kita untuk memilih antara menolak mudlarat atau mengambil maslahat. Tentu kaidah ini sangat berperan didalamnya. Mengambil maslahat tentu dianjurkan dalam islam. Berbuat suatu kebaikan jelas akan mendapatkan pahala bagi para pelakunya. Akan tetapi menghilangkan kemudlaratan lebih diutamakan, sebab menghilangkan kemudlaratan itu sendiri merupakan tindakan untuk mencapai kemaslahatan. Sedangkan tujuan hukum Islam, ujungnya adalah untuk meraih kemaslahatan di dunia dan di akhirat.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW., bersabda :
"Wahai Aisyah, seandainya kaummu bukan orang-orang yang baru meninggalkan masa jahiliah, tentu aku perintahkan agar Baitullah dirombak. Kemudian aku bangun dan aku masukkan apa yang dikeluarkan darinya, dan niscaya aku turunkan sejajar dengan tanah ...." (Muttafaq 'alaih).
Dalam hadits ini terdapat indikasi yang jelas atas makna kaidah ini. Yaitu ketika Nabi shallallahu 'alahi wa sallam meninggalkan maslahat membangun Baitullah al-'atiq di atas pondasi Ibrahim 'alaihis salam demi menolak mafsadat yang dikhawatirkan terjadi (apabila beliau meruntuhkan Ka'bah kemudian membangun kembali), yatu larinya manusia dari Islam atau murtadnya mereka disebabkan perbuatan tersebut. Dengan demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan menolak mafsadat ini daripada mengejar maslahat tersebut.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga menahan diri dari memerangi orang-orang munafik. Padahal itu mengandung kemaslahatan. Ini dimaksudkan agar tidak menjadi penyebab larinya manusia dan menimbulkan penilaian mereka bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam membunuh sahabatnya.
Beberapa persoalan hidup yang terkandung dalam kaidah ini antara lain:
Berlebih-lebihan (mubalaghah) saat menghirup air ke lubang hidung (istinsyaq) atau saat berkumur (madlmadlah) hukumnya adalah sunnah. Tapi mubalaghah itu bisa menjadi makruh bila dilakukan diwaktu puasa. Sebab, dengan mubalghah kemungkinan aka nada air yang masuk kedalam perut sehingga orang yang berpuasa akan batal. Nah, kemakruhan mubalghah saat berpuasa itu merupakan upaya mencegah batalnya puasa (mafsadah), walaupun hukum asal mubalghah adalah sunnah (mashlahah).
Atau masalah kontemporer seperti membangun pusat perbelanjaan diarea hijau, merupakan salah satu sarana yang sangat membantu masyarakat dalam menjangkau segala kebutuhan dalam hidup. Akan tetapi perlu dicatat konsekuensi yang ditimbulkan akan sangat merusak lingkungan sekitar dan berpengaruh kepada alam serta merugikan ekosistem disekitar wilayah tersebut. Maka dari itu mencaga lingkungan area hijau dari pembangunan akan mencegah dari kerusakan alam dan lingkungan (mafsadah), meski membangunnya akan memudahkan sarana dan prasaran bagi masyarakat (maslahah).