Ibnu Taimiyah, atau lebih lengkapnya Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd as-Salam bin Abdullah bin Abi al-Qasim bin Taymiyah al-Harrani (661-728 H), seorang pemikir dan ulama islam dari turki merupakan sosok ulama islam yang sangat gemar membaca. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang prduktif dalam menulis. Dikisahkan bahwa ketika beliau menulis bantahan-bantahan yang ditujukan kepada orang-orang yunani yang ahli dalam bidang manthiq (logika), beliau hanya menyelesaikannya dari ba'da zuhur hingga waktu ashar. Ini disebabkan karena beliau adalah sosok yang sangat suka membaca.
Produktibitas Ibnu Taimiyah dalam menulis buku tidak terlepas dari kegemarannya dalam membaca. Beliau tidak pernah terpisah dari menelaah, membaca dan membicarakan ilmu baik ketika dalam keadaan sakit maupun bepergian. Ibnu Qayyim dalam bukunya yang berjudul "Raudhah al-Muhibbin" bercerita bahwa suatu hari Ibnu Taimiyah sakit. Seorang dokter menyarankan kepada ibnu taimiyah untuk megurangi aktifitasnya dalam bidang keilmuan dan membaca buku karena itu bisa memperparah kondisi penyakitnya.
Lalu Ibnu Taimiyah mengatakan "Aku tak kuat menahan diri dari itu. Sekarang aku tanya berdasarkan keilmuanmu: bukankah kalau jiwa gembira maka berpengaruh positif pada kekuatan tabiat (kesehatannya)?" "Betul," jawab sang dokter tadi. "Demikian juga aku. Aku sangat senang dan gembira dengan ilmu, aku merasa kuat dan rileks dengannya," ujar Ibnu Taimiyah. Dokterpun menjawab, "Berarti ini di luar pengobatan kami."
Demikian pula ulama-ulama kenamaan seperti Ahmad bin Yahya asy-Syaibani, Imam Nawawi, imam al-Khathb al-Baghdady, Abu Yusuf Ya'qub bin Kharzad al-Nujayrimy, Ibnu Malik, Adz-Dzahabi dan lain sebagainya, disebutkan sebagai ulama yang 'gila baca' buku.
Dari sini dapat kita pahami bahwa dibalik sebuah karya yang menakjubkan, buku yang sangat bermakna dan kitab-kitab yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, terdapat sosok-sosok yang sangat gemar akan membaca.
Tentu seorang penulis/pengarang tidak dapat terlepas dari membaca. Ini senada dengan pepatah arab "Faaqidusy-syai' laa yu'thi" yang berarti orang yang tidak memiliki sesuatu, tidak dapat memberi. Seorang tidak dapat menulis jika ia tidak membaca. Bagaimana seseorang akan memberikan ilmu jika tidak belajar? Bagaimana seseorang memberikan makanan jika ia sendiri tidak memasak? Dan, bagaimana seseorang bisa menulis jika ia tidak membaca?
Membaca adalah alat untuk membuka paradigma berfikir, berucap dan berperilaku. Dengan membaca manusia akan memahami dari apa yang dia pikirkan untuk dikerjakan sehingga manusia akan memahami awal-akhir, sebab-akibat serta mampu menafsirkan apa yang harus disampaikan berdasarkan pengetahuan bukan berdasarkan kemauan dirinya sendiri atau kemauan orang lain atau yang sering disebut nafsu.
Islam mengajarkan manusia untuk membaca, hal ini seperti yang telah kita pahami selama ini bahwa wahyu pertama yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW berkaitan dengan membaca. Surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5 menjadi surat yang berisi perintah membaca.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."
Jelaslah sudah, bagaimana membaca adalah satu hal yang penting dalam Islam. Membaca berarti ibadah. Membaca adalah jalan untuk membuka apa yang telah diciptakan Allah serta dalam rangka menjemput ketetapan dari Yang Maha Pemurah dan menikmati apa yang telah dituliskan dalam alam semesta.